BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidik yang
pertama dan yang paling utama adalah orang tua berupaya maksimal memberikan
yang terbaik terhadap perkembangan anak, sehingga dapat bertumbuh mengikuti
norma-norma kehidupan yang tidak bertentangan dengan ajaran agama norma-norma
kesusilaan, harapan maupun kaidah-kaidah hukum. Dalam tahap proses belajar yang
di utamakan adalah kematangan terhadapa diri anak, karena bagaimanapun juga
bahwa hasil yang di capai tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. Berbicara
mengenai teori belajar dan mengajar matematika berarti berbicara mengenai
”bagaimana” dan ”kepada siapa” suatu topik matematika diajarkan.
Belajar dan
mengajar merupakan dua kata yang berbeda, tetapi dalam pelaksanaaannya tidak
dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Jika pada masa dulu konsep
mengajar berarti guru menyampaikan semua pengetahuan matematika yang
diketahuinya kepada siswa, tapi pada masa kini mengajar lebih diupayakan pada
bagaimana proses pembelajaran dilaksanakan guru sehingga siswa dapat belajar.
Siswa menjadi fokus proses pembelajaran (students centered). Salah satu ciri
pembelajaran matematika masa kini adalah penyajiannya didasarkan pada teori
psikologi pembelajaran yang pada saat ini sedang populer dibicarakan oleh para
pakar pendidikan (Suherman, 29). Bila terjadi proses belajar, maka bersama itu
pula terjadi proses mengajar. Hal ini kiranya mudah dipahami, karena bila ada
yang belajar sudah barang tentu ada yang mengajarnya, dan begitu pula
sebaliknya kalau ada yang mengajar tentu ada yang belajar.
Kalau sudah
terjadi suatu proses/saling berinteraksi, antara yang mengajar dengan yang
belajar, sebenarnya berada pada suatu kondisi yang unik, sebab secara sengaja
atau tidak sengaja, masing-masing pihak berada dalam suasana belajar. Jadi guru
walaupun dikatakan sebagai pengajar, sebenarnya secara tidak langsung juga
melakukan belajar. Berdasarkan etimologi perkataan matematika berarti ilmu
pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar. Di sisi lain matematika dipadang
sebagai ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran dan konsep-konsep
yang berhubungan satu dengan lainnya dan terbagi dalam tiga bidang, yaitu
aljabar, analisis dan geometri. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya pasal 1 dinyatakan bahwa
teori pembelajaran adalah suatu interaksi antara peserta didik dengan pendidik
dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Ketentuan ini membawa
implikasi bahwa terjadinya proses pembelajaran berbasis pada aneka sumber yang
memungkinkan terciptanya suatu situasi pembelajaran yang “hidup” dan menarik.
Selanjutnya
didalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan dinyatakan bahwa, proses pembelajaran pada satuan
pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai
dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Secara
pragmatis, teori belajar dapat di pahami sebagai prinsip umum atau kumpulan
prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta
dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Siswa-siswa yang
berprestasi tinggi umumnya merupakan pembelajar-pembelajar mandiri yang
disiplin dan efektif. Sebuah model pembelajaran mandiri meliputi tiga komponen
: evaluasi dan monitor diri sendiri, perancang tujuan dan perencanaan strategi
; melaksanakan rencana dalam tindakan, dan memonitor hasil serta menyempurnakan
strategi-strategi. Pembelajaran mandiri memberi anak tanggung jawab atas proses
belajar mereka. Kemampuan memonitor diri berkembang dimasa remaja. Sehingga,
banyak suasana lingkungan memelihara munculnya kreativitas, namun banyak pula
lingkungan yang menekannya (Csikszentmihalyi, 1996: Strenberg, Grigorenko, dan
Singer.2004).
Orang-orang yang mendorong kreativitas anak seringkali
bertumpu pada keingintahuan alami anak. Mereka menyediakan latihan-latihan dan
aktivitas yang menstimulasi anak untuk menemukan pemecahan-pemecahan mendalam
terhadap masalah, alih-alih menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan
jawaban-jawaban. Howard Gardner (1993) yakin bahwa ilmu pengetahuan, penemuan,
dan museum anak menawarkan kesempatan yang banyak untuk menstimulasi
kreativitas anak. Titik fokus yang menjadi pusat perhatian suatu teori selalu
ada. Ada yang lebih mementingkan proses belajar, ada yang lebih mementingkan
sistem informasi yang diolah dalam proses belajar, dan lain-lain. Namun faktor-faktor lain diluar titik fokus
itu seperti lingkungan juga selalu diperlukan untuk menjelaskan proses belajar.
Pembelajaran menurut aliran kognitif, yang mana dalam pembelajaran kognitif
menitik beratkan belajar aktif, belajar lewat interaksi social, belajar lewat
pengalaman pribadi ini di kemukakan oleh jean piaget. Aliran kognitif berjalan
dengan baik dan sekarang ini diterapkan seperti pada kurikulum berbasis tujuan
pendidikan yang mana didalamnya mempunyai aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik.
Jadi siswa di
tuntut untuk aktif di dalam kelas ini merujuk pada pembelajaran menurut aliran
kognitif yang menjadikan siswa dapat aktif di dalam proses pembelajaran karena
di dalam pembelajarannya guru hanya sebagai fasilitator, sedangkan siswa di
sini tidak menjadi objek pembelajaran akan tetapi siswa sebagai subjek dari
pembelajaran. Pembahasan ini sangat penting karena mengingat proses belajar
yang terjadi didalam kelas berlangsung dalam proses komunikasi yang berisi
pesan-pesan yang berkaitan dengan fakta, konsep, prinsip dan keterampilan yang
sering digunakan dalam sehari-hari. Proses pembelajaran dituntut untuk secara
aktif berpartisipasi. Keaktifan
berpartisipasi ini memberikan kesempatan yang luas mengembangkan potensi, bakat
yang dimiliki oleh masing-masing siswa.
- Rumusan Masalah
- Apakah Pengertian belajar bagi seorang anak didik?
- Bagaimana teori-teori psikologi pembelajaran matematika dan tokoh-tokohnya?
- Bagaimana Metode Pembelajaran Matematika?
- Tujuan
- Untuk mengetahui pengertian belajar bagi seorang anak didik.
- Untuk mengetahui pembagian-pembagian teoro-teori psikologi pembelajaran matematika dan tokoh-tokohnya.
- Untuk mengetahui metode pembelajaran matematika.
BAB 2
DAFTAR PUSTAKA
Banyak orang
yang beranggapan, bahwa yang di maksud dengan belajar adalah mencari ilmu atau
menuntut ilmu. Memang kalau kita bertanya kepada seseorang tentang apakah
belajar itu, akan memperoleh jawaban yang bermacm-macam. Perbedaan pendapat
orang tentang arti belajar itu disebabkan karena adanya kenyataan, bahwa
perbuatan belajar itu sendiri bermacam-macam. Menurut James O. Wittaker,
belajar dapat didefinisikan sebagai proses di mana tingkah laku di timbulkan
atau di ubah melalui latihan atau pengalaman. Para ahli seperti John Locke pada
abad 7 mengemukakan pengalaman dan pendidikan bagi anak merupakan faktor yang
menentukan dalam perkembangan anak, sebab kejiwaan anak ketika di lahirkan
adalah ibarat secarik kertas yang masih bersih. Dan pernyataan ini di perkuat
juga oleh tokoh B Watson (1908-1920) yaitu tokoh Empirisme terkenal dengan
behavioristik mengatakan karena jiwa manusia waktu di lahirkan masih bersih,
maka untuk menjadikannya sesuai dengan yang dikehendaki kepadanya tinggal
diberikan lingkungan dan pengalaman-pengalaman yang diperlukan.
Seorang psikolog
dari Amerika Kuno yaitu William James mengungkapkan hasil temuannya bahwa anak
yang di lahirkan di tengah-tengah campuran cahaya dan keributan, maka semakin
bertambah pula pengetahuan baik berupa penganutan, penglihatan atau karena
adanya rangsangan dari luar sehingga anak dapat membedakan dan memisah-misahkan
antara cahaya, dengan demikian anak telah mulai mengalami “ proses belajar “. Pendidikan
sering di tafsirkan sebagai bimbingan kepada anak untuk mencapai kedewasaan
yang kelak mampu berdiri sendiri dan mengejar cita-cita.
Dengan batasan bimbingan oleh ahlinya maka
dapat di simpulkan bahwa tujuan bimbingan pada umumnya untuk membantu individu
melalui penyuluhan jiwa, dapat membantu pilihan yang bijaksana, penyesuaian
diri, dan penafsiran terhadap situasi yang kritis dalam hidupnya sedemikian
rupa untuk menjamin perkembangan kemampuan pengarahan diri sendiri (John KJ,
1945). Menurut pengamatan dan pengalaman Dines bahwa terdapat anak-anak yang
menyenangi matematika hanya pada permulaan, mereka berkenalan dengan matematika
yang sederhana, semakin tinggi sekolahnya semakin “sukar “ matematika yang di
pelajari makin kurang minatnya belajar matematika sehingga di anggap matematika
itu sebagai ilmu yang sukar, rumit, dan banyak memperdayakan.
Di sisi lain
Sears mengungkapkan bahwa kepribadian seseorang banyak di pengaruhi oleh
pengaruh hubungan antar orang tua dan anak,
saudara, lingkungan, majalah, koran, siaran televisi dan lain-lain.
Sehingga tak satupun orang yang mempunyai kepribadian yang sama di sebabkan
oleh pengaruh lingkungan terutama pengaruh dari orang tua karena latar belakang
kepribadian dan kemampuan orang tua berbeda-beda. Maka dari itu hendaknya orang
tua selalu berusaha menjadi contoh
kepribadian yang hidup atas nilai-nilai yang tinggi.
Hal ini sesuai
dengan pendapat Prof. Dr. Soepartinah Pakasi yang hendaknya kehidupan keluarga
“Conducive” bagi, dan membantu pembentukan kepribadian-kepribadian yang kita
inginkan sebagai orang tua, sebagai warga negara tyang berpedomana pada
Pancasila dan Filsafat Negara. Dengan demikian, anak/remaja akan
berangsur-angsur melepas identifikasinya terhadap orang-orang lain sehingga ia
mampu menjadi dirinya sendiri.
BAB 3
PEMBAHASAN
- Psikologi Pembelajaran Matematika
Belajar
merupakan proses dasar dari perkembangan hidup manusia. Dengan belajar, manusia
melakukan perubahan-perubahan kualitif individu sehingga tingkah lakunya
berkembang. Semua aktivitas dan prestasi hidup manusia tak lain adalah hasil
dari belajar. Menurut rumusan G.A Kimble belajar adalah perubahan yang relatif
menetap dalam potensi tingkah laku yang terjadi sebagai akibat dari latihan
dengan penguatan dan tidak termasuk perubahan-perubahan karena kematangan,
kelelahan atau kerusakan pada susunan saraf, atau dengan kata lain bahwa
mengetahui dan memahami sesuatu sehingga terjadi perubahan dalam diri seseorang
yang belajar. Di samping itu terdapat paham atau pemikiran lain yang
menitikberatkan kepada rangsangan dan jawaban yang lebih di kenal dengan teori
“RJ” (rangsangan jawaban) bahwa tingkah laku diperoleh dari proses belajar
dengan cara merangsang dari luar, yang mungkin dapat terjadi berulang-ulang dan
dengan penguatan melalui cara yang langsung atau tidak langsung memberikan
dorongan untuk memberikan jawaban.
Pendidikan
sering di artikan sebagai bimbingan kepada anak untuk mencapai kedewasaan yang
kelak mampu berdiri sendiri dan mengejar cita-cita. Untuk dapat tercapainya
manusia yang dewasa, sesuai dengan tujuan pendidikan, maka perlu dicegah dari
pengaruh negatif dan timbulnya gangguan dalam perkembangan anak. Salah satu
usaha mencegah gangguan perkembangan kepribadian anak adalah memberikan
bimbingan dan penyuluhan. Bimbingan dan penyuluhan merupakan salah satu “upaya
nyata” dan telah banyak peranannya dalam ikut membentuk manusia dan masyarakat
yang sehat mental. Para ahli di bidangnya memberikan batasan mengenai bimbingan
yaitu pelayanan yang terorganisir dengan maksud memberi bantuuan secara teratur
pada anak didik (peserta didik) dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka
hadapi dan dalam membina penyesuaian diri terhadap berbagai situasi yang harus
ia hadapi.
Dengan batasan
bimbingan oleh ahlinya maka dapat disimpulkan bahwa tujuan bimbingan pada
umunya untuk membantu individu melalui penyuluhan jiwa, dapat membuat pilihan
yang bijaksana, penyesuaian diri, dan penafsiran situasi yang krisis dalam
hidupnya sedemikian rupa untuk menjamin perkembangan kemampuan pengarahan diri
sendiri (John KJ, 1945). Sesuai dengan sasaran yang ingin di capai yaitu
bimbingan dalam belajar, maka pengenalan pembahasan di tujukan pada :
- Kemampuan berprestasi di sekolah
- Pemahaman tentang kesulitan di sekolah
- Penyelesaian kesulitan dalam belajar
- Upaya mengatasi kesulitan anak
- Pengamalan sila dari pancasila yaitu sikap menghormati kepentingan dan harga diri orang lain. (uraian ini berpedoman pada buku psikologi untuk membimbing oleh Dra. Ny. Y. Singgih D. Gunarsa).
Menurut MORRIS KLINE (1961) bahwa
jatuh bangunnya suatu negara dewasa ini tergantung dari kemajuan di bidang
matematika. Dan Slamet Santoso mengemukakan bahwa fungsi matematika merupakan
ketahanan Indonesia dalam abad 20 di jalan raya dan bangsa-bangsa. Untuk suatu
negara penting karena jatuh bangunnya suatu negara tergantung dari kemajuan di
bidang matematikanya. Oleh karena itu
sebagai langkah awal untuk mengarah pada tujuan yang di harapkan adalah
mendorong atau memberi motivasi belajar matematika bagi masyarakat khususnya
bagi anak-anak atau peserta didik. Keberhasilan proses belajar mengajar
matematika tidak terlepas dari persiapan peserta didik dan persiapan dari para
tenaga pendidik di bidangnya dan bagi para peserta didik yang sudah mampunyai
minat (siap) untuk belajar matematika akan merasa senang dan penuh perhatian
mengikuti pelajaran tersebut, oleh karena itu para pendidik harus berupaya
untuk memelihara maupun mengembangkan minat atau kesiapan belajar anak didiknya
atau dengan kata lain bahwa “teori belajar mengajar matematika harus di pahami”
betul-betul oleh para pengelola pendidikan.
Penggunaan
matematika atau berhitung dalam kehidupan manusia sehari-hari telah menunjukkan
hasil nyata seperti dasar bagi disain ilmu teknik misalnya perhitungan untuk
pembangunan antariksa dan di samping dasar disain ilmu teknik metode matematis
memberikan inspirasi kepada pemikiran di bidang sosial dan ekonomi dan dapat
memberikan warna kepada kegiatan seni lukis, arsitektur dan musik. Pengetahuan
mengenai matematika memberikan bahasa, proses dan teori yang memberikan ilmu
bentuk dan kekuasaan yang akhirnya bahwa matematika merupakan salah satu
kekuatan utama pembentukan konsepsi tentang alam suatu hakikat dan tujuan
manusia dalam kehidupannya.
Salah satu ciri
pembelajaran matematika masa kini adalah penyajiannya di dasari oleh teori
psikologi pembelajaran yang pada saat ini sedang popular dibicarakan oleh para
pakar pendidikan. Pembicaraan mengenai pembelajaran matematika di sekolah,
tidak akan pernah bisa terlepas dari teori psikologi yang mendasarinya. Ya,
mungkin dapat diibaratkan seperti rasa manis yang melekat pada gula. Jika sifat
manisnya hilang, bukan lagi gula namanya. Sebaliknya, kita melepaskan psikologi
pembelajaran, maka segala aktifitas yang kita lakukan bukan lagi sebagai proses
pembelajaran. Tidak hanya tingkat kedalaman konsep dan keluasan materi yang
akan diberikan kepada siswa harus disesuaikan dengan tingkat kemampuannya, cara
penyampaian pun demikian juga seharusnya. Guru harus mampu mengetahui tingkat
perkembangan mental siswa dan bagaimana pembelajaran yang harus dilaksanakan
sesuai dengan tahapan perkembangan tersebut. Pembelajaran yang tidak
memperhatikan tahap perkembangan mental siswa, kemungkinan besar akan
menyebabkan siswa merasa kesulitan, karena apa yang disajikan tidak sesuai
dengan kemampuannya menyerap bahan ajar.
- Tokoh-tokoh Aliran Psikologi
- Pavlov dengan teori belajar Klasiknya
Ivan Petrovich
Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia yaitu desa tempat ayahnya Peter
Dmitrievich Pavlov menjadi seorang pendeta. Ia di didik di sekolah gereja dan
melanjutkan ke Seminari Teologi. Pavlov lulus sebagai sarjana kedokteran dengan
bidang dasar fisiologi. Pavlov adalah ilmuwan Rusia yang terkenal dengan teori
belajar klasik. Pavlov terkenal dengan percobaannya menggunakan hewan dan manusia.
Pada akhir abad ke-19 ia melakukan penelitian tentang pencernaan. Pada sebagian
penelitiannya ia melakukan pengamatan terhadap tingkah laku anjing. Pavlov
mencoba menemukan hubungan antara anjing yang melihat makanan dengan keluar air
liurnya. Pada mulanya anjing itu dikurung, lalu diberi makanan. Sebelum makanan
itu diberikan, nampak anjing itu mengelurkan air liurnya. Kemudian anjing itu
diberi makan terus seperti biasanya, namun sebelum diberi makan bunyikanlah
sebuah bel.
Seperti biasanya
anjing itu mengelurkan air liurnya. Akhirnya dicoba menyembunyikan bel tanpa
memberikan makanan, ternyata anjing itu tetap mengeluarkan air liurnya. Dengan
melelehnya air liur anjing setiap Apa yang dikemukakan Pavlov tersebut
merupakan suatu pembiasaan (conditioning). Dengan melelehnya air liur anjing
setiap mendengarkan bunyi lonceng oleh pavlov melihat ada hubungan bersyarat
anatar anjing, makan, dan air liur. Makanan atau lonceng merupakan stimulus
untul keluarya air liur, sehingga makanan disebut stimulus tak wajar (refleksi)
sedangkan bunyi lonceng di sebut stimulus bersyarat. Dalam hubungannya dengan
proses belajar-mengajar, agar siswa belajar dengan baik, maka haruslah
dibiasakan. Misalnya agar siswa terbiasa mengerjakan soal pekerjaan rumah (PR)
dengan baik, sebagai guru sebaiknya membiasakan untuk memeriksanya,
menjelaskannya, ataupun memberikan nilai terhadap hasil pekerjaan siswanya.
- Baruda
Albert Bandura
dilahirkan pada tanggal 4 Desember 1925
di Mondere Alberta, Canada. Dia memperoleh gelar Master di bidang psikologi
pada tahun 1951 dan setahun kemudian ia juga meraih gelar doktor (Ph.D).
Setahun setelah lulus, ia bekerja di Standford University. Albert Bandura sangat terkenal dengan teori
pembelajaran sosial (Social Learning TheoryAlbert Baruda mengemukakan bahwa
seseorang itu belajar melalui proses meniru. Maksud meniru disini bukanlah
mencontek, tetapi meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain.
Ia melakukan
percobaan bersama dengan rekan-rekannya untuk menemukan adanya pengaruh antara
model-model (yang telah dilatih khusus untuk bertingkah laku tertentu) terhadap
orang-orang yang melihatnya. Kesimpulan dari hasil penelitiannya adalah bahwa
seseorang yang terbiasa melihat orang lain (model) berbuat jahat, maka ia
cenderung untuk berbuat jahat, begitu pun sebaliknya. Dengan demikian,
implikasi teori ini dalam pembelajaran adalah guru harus menjadi model yang
professional, yang layak untuk ditiru siswanya. Seperti sebuah pameo, “guru,
digugu dan ditiru”, bukan lantas “guru, digugu walaupun keliru”. Sehingga,
ketika seorang anak didik tidak boleh mengikuti kekeliruan seorang guru, dan
juga seorang guru tidak boleh melakukan kekeliruan karena beliaulah contoh bagi
anak didiknya.
- Piaget
Jean Piaget
lahir pada tanggal 9 Agustus 1896 di Neuchatel, Swiss. Sejak masa remaja, dia
sangat tertarik dengan filsafat. Hal inilah yang mengarahkan minat besarnya
kepada epistomologi, suatu cabang ilmu yang mempelajari tentang pengetahuan.
Piaget dikenal sebagai ahli ilmu jiwa yang juga berhasil memperoleh gelar doctor
dalam bidang biologi (Setiono, 1983 : 12). Piaget menyakini bahwa proses
berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Piaget yakin bahwa anak bukan
merupakan replica dari orang dewasa. Anak bukan hanya berfikir kurang efisien
dibandingkan orang dewasa, melainkan juga berfikir secara berbeda dengan orang
dewasa. Hal inilah yang menyebabkan Piaget yakin bahwa ada tahap perkembangan
kognitif yang berbeda dari mulai anak sampai menjadi orang dewasa (Suparno :
2000). Ia mengadakan penelitian kepada anak-anak orang barat dimulai dengan
penelitian kepada anaknya sendiri.
Dari penelitian
itu timbullah teori belajarnya yang biasa disebut “Teori Perkembangan Mental
Manusia”. Perkataan “mental” pada teori itu biasa disebut “intelektual” atau
“kognitif”. Teorinya disebut teori belajar sebab berkenaan dengan kesiapan anak
untuk mampu belajar. Teorinya ini menetapkan ragam dari tahap-tahap
perkembangan intelektual manusia dari lahir samapi dewasa serta ciri-cirinya
dari setiap tahap itu (Ruseffendi, 1991 : 132). Menurut teori Piaget,
perkembangan mental manusia itu tumbuh secara kronologis melalui empat tahap
yang berurutan. Empat tahap yang dimaksudkan oleh teori perkembangan kognitif
dari Piaget tersebut adalah sebagai berikut :
- Tahap sensori motor (dari lahir sampai umur sekitar 2 tahun).
- Tahap pra-operasional (umur dari sekitar 2 tahun sampai sekitar 7 tahun).
- Tahap operasi konkret (umur dari sekitar 7 tahun sampai sekitar 12 tahun).
- Tahap operasi formal (umur dari sekitar 12 tahun sampai dewasa).
Beberapa ciri utama pada setiap
tahapan perkembangan kognitif menurut Piaget adalah sebagai berikut :
a) Tahap
Sensori-Motor (Sensori-Motor Stage)
Pada tahap ini
anak mengembangkan konsep pada dasrnya melalui interaksi dengan dunia fisik.
Para guru tidak terkait secara langsung dengan anak-anak atau bayi seperti ini.
Namun, para guru perlu mengetahui dan menyadari bahwa sejak usia ini
dasar-dasar pertumbuhan mental dan belajar matematika sudah mulai dikembangkan.
Secara lebih terperinci, beberapa ciri tahap sensori-motor adalah sebagai
berikut :
1) Anak belajar mengembangkan dan menyelaraskan
gerak jasmaninya.
2) Anak berfikir/belajar melalui perbuatan dan
gerak.
3) Anak
belajar mengaitkan symbol benda dengan benda konkretnya, hanya masih sukar.
Missal : mengaitkan penglihatan mentalnya dengan penglihatan real dari benda
yang disembunyikan.
4) Mulai
mengotak-atik benda.
b) Tahap
Pra-Operasional (Pre-Operasional Stage)
Pada tahap ini
anak sudah menggunakan bahasa untuk menyatakan suatu ide, tetapi ide tersebut
masih sangat tergantung pada persepsinya. Pada tahap ini anak telah mulai
menggunakan simbol, dia belajar untuk membedakan antara kata atau istilah
tersebut. Pada tahap ini anak juga sudah mulai mengenal ide tentang
“kekekalan”, “tidak berubah”, atau “konservasi” yang sederhana, walaupun belum
sempurna benar. Anak tidak melihat abahwa banyaknya objek adalah tetap atau
tidak berubah, tanpa memperhatikan susunan ruang yang ditempati objek tadi.
Tahap pra-operasional ini dibagi kedalam tahap berfikir prakonseptual dan tahap
berfikir intuitif (Ruseffendi, 1991). Adapun tahap ini memiliki ciri-ciri
sebagai berikut (Ruseffendi, 1991 ; Bybee, 1982) :
1) Sebaran
umur dari sekitar tahun 2 tahun sampai sekitar 7 tahun, tahpa berfikir
pra-konseptual sekitar 2-4 tahun, tahap berfikir intuitif sekitar 4-7 tahun.
2) Bila
kita bandingkan pada tahap ini anak berfikir internal (penghayatan kedalam)
sedangkan pada tahap sensori-motor dengan gerak atau perbuatan. Anak pada tahap
pra-konseptual memungkinkan representasi sesuatu itu dengan bahasa, gambar, dan
khayalan. Penilaian dan perkembangan anak pada tahap berfikir intuitif
didasarkan pada persepsi pengalaman sendiri, bukan kepada penalaran.
3) Anak
mengkaitkan pengalaman yang ada pada dunia luar dengan pengalaman pribadinya.
Anak mengira pada cara berfikir dan pengalamannya dimiliki pula oleh orang
lain. Misalnya bila ia melihat sebuah gambar terbalik dari sisi meja yang satu,
mengira bahwa temannya yang berhadapan dengan dia di sisi lain dari meja itu
terlihat gambar itu terbalik pula. Karena itu kita akan menemukan bahwa
anak-anak pada tahap ini sangat egois (egosentris).
4) Anak
mengira bahwa benda tiruan memiliki sifat-sifat benda yang sebenarnya
(animisme).
5) Anak
pada tahap ini tidak dapat membedakan kejadian yang sebenarnya (fakta) dengan
khayalannya (fantasi).
6) Anak
berpendapat bahwa benda-benda itu berbeda jika kelihatannya berbeda, dengan
kata lain :
a) Anak
belum memiliki konsep kekekalan banyak.
b) Anak
belum memiliki konsep kekekalan materi (zat)
c) Anak
belum memiliki konsep kekekalan panjang
d) Anak
belum memiliki konsep kekekalan luas
e) Anak
belum memiliki konsep kekekalan berat
f) Anak
belum memiliki konsep kekekalan isi
7) Pada
tahap ini anak kesulitan membalikkan dan mengulang pemikiran (perbuatan),
sehingga anak pada tahap ini kesulitan melakukan operasi invers.
8) Anak
sulit memikirkan dua aspek atau lebih dari suatu benda secara serempak.
9) Anak
tidak berfikir induktif maupun deduktif, tetapi anak berfikir transduktif.
10) Anak
mampu memanipulasi benda konkret.
11) Anak
mulai dapat membilang menggunakan benda konkret, misalnya jari tangan.
12) Pada tahap akhir ini anak dapat memberikan
alas an atas keyakinannya, dapat mengelompokkan benda berdasarkan satu sifat
khusus yang sederhana, dan mulai dapat memahami konsep yang sederhana.
13) Anak
belum dapat memahami korespondensi satu-satu untuk memahami banyaknya (kesamaan
dan ketidaksamaan).
14) Anak
kesulitan memahami konsep ketakhinggaan dan pembagian tak terbnatas dari sebuah
ruas garis atas ruas garis-ruas garis yang lebih kecil panjangnya.
Mirip dengan ciri ke-12 diatas,
Piaget (Crain, 1980) mengemukakan bahwa pada tahap pra-operasional, anak
kesulitan untuk mengklasifikasikan objek secara kompleks. Misalnya dari 20 bola
kayu, 18 bola berwarna coklat dan 2 bola berwarna putih. Ketika anak ditanya
manakah yang lebih banyak, bola kayu atau bola yang berwarna coklat??? Maka
anak akan menjawab coklat yang lebih banyak.
c) Tahap
Operasi Konkret (Concrete Operasional Stage)
Selama tahap ini
anak mengembangkan konsep dengan menggunakan benda-benda konkret untuk
menyelidiki hubungan dan model-model ide abstrak. Bahasa merupakan alat yang
sangat penting untuk menyatakan dan mengingat konsep-konsep. Pada tahap ini
anak sudfah mulai berfikir logis. Befikir logis ini terjadi sebagai akibat
adanya kegiatan anak memanipulasi benda-benda konkret. Oleh sebab itu pada tahap
ini sudah dapat diterima dengan mantap oleh anak. Sebagai contoh, kita ambil
dua gelas yang sama ukurannya. Masing-masing gelas diisi dengan air yang sama
banyak volumenya. Kedua gelas yang berisi air tersebut ditunjukkan kepada
seorang anak. Kita tanyakan kepada dia “apakah sama ataukah tidak banyaknya air
dalam kedua gelas ini???” menurut Jean Piaget, anak-anak akan menjawab “sama
benyaknya”. Selanjutnya, air dalam salah satu gelas tadi dituangkan semuanya
pada sebuah gelas yang tinggi dan garis tengahnya lebih kecil. Sekarang kedua
gelas yang berisi air itu kita tunjukkan kepada anak tadi. Ajukan pertanyaan
yang sama kepada anak itu. Menurut Jean Piaget, anak akan tetap menjawab sama
banyaknya. Alasannya adalah karena :
(1) Tampak lebih tinggi,
(2) anak
menggunakan pikiran logis,
(3)
anak berada pada tahap berfikir operasi konkret.
Kita juga banyak menjumpai sifat
kekekalan pada konsep bilangan, contohnya antara lain :
3 = 1 + 2 = 1 + 1 + 1 = 5 – 2 = 12
: 4 = 1 x 3 = 3
5 x 4 = 4 x 5
0,25 = = 25 % dan lain sebagainya.
Umur anak ketika mulai memahami
konsep kekekalan adalah sebagai berikut :
1) Konsep
kekekalan bilangan, sektar 5 – 7 tahun.
2) Konsep
kekekalan banyaknya zat, umur 7 – 8 tahun.
3) Konsep
kekekalan panjang, sekitar 7 – 8 tahun.
4) Konsep
kekekalan luas, sekitar 8 – 9 tahun.
5) Konsep
kekekalan berat, sekitar 9 – 10 tahun.
6) Konsep
kekekalan volume, kadang-kadang mulai pada tahap berfikir formal (11 – 12
tahun).
Selain ciri-ciri diatas, pada tahap
operasi konkret anak juga sudah mampu melihat sudut pandang orang lain dan
mengetahui mana benar dan mana salah. Anak juga mulai senang dengan membuat
benda bentukan atau alat-alat mekanis, misalnya membuat mobil-mobilan dari bamu
dan kulit jeruk. Namun pada tahap ini masih cenderung mengalami kesulitan untuk
menjelaskan peribahasa dan belum mampu memahami arti yang tersembunyi. Satu hal
yang perlu dicamkan, tahap operasi konkret bukan berarti pada tahap ini anak
tidak mengerti konsep tanpa benda konkret, akan tetapi disebabkan karena
anak-anak pada tahap ini mendapat kesukaran untuk menerapkan proses intelektual
formal kedalam symbol-simbol verbal dan ide-ide abstrak. Dari awal tahap
operasi konkret ini, sampai menjelang tahap operasi formal, terdapat empat
tingkat berfikir yang dilalui oleh anak, yakni :
1) Berfikir
konkret
2) Berfikir
semi konkret
3) Berfikir
semi abstrak
4) Berfikir
abstrak
Para siswa sekolah dasar di
Indonesia umumnya berumur 6 – 12 tahun. Jadi, kebanyakan diantara mereka berada
pada tahap operasi konkret. Dalam kaitannya dengan pembelajaran matematika SD,
pada tahap ini anak dapat “mengelompokkan” benda-benda konkret berdaarkan
warna, bentuk, atau ukurannya. Misalnya kita menyediakan sekelompok benda
konkret berupa bangun-bangun geometri datar seperti : segitiga, segiempat,
segilima, dan segienam. Setiap bangun geometri tersebut berwarna tertentu,
misalnya berwarna merah, kuning, hijau, biru dan hitam. Kita dapat meminta anak
untuk mengumpulkan bangun geometri yang berwarna merah. Anak juga dapat diminta
untuk mengumpulkan bangun geometri yang berbentuk segitiga. Anak juga dapat
mengumpulkan segitiga yang berwarna merah. Disamping itu, anak juga dapat
diminta mengurutkan segiempat berdasrkan ukurannya, misalnya dari kecil ke
besar atau sebaliknya.
d) Tahap
Operasi Formal (Formal Operational Stage)
Ini merupakan
tahap berfikir terakhir dari perkembangan intelektual manusia menurut Piaget.
Ciri-ciri yang tampak antara lain :
1) Anak
sudah mampu berfikir secara abstrak, tidak memerlukan lagi perantara operasi
konkret untuk menyajikan abstraksi mental secara verbal.
2) Dia
dapat mempertimbangkan banyak pandangan sekaligus, dapat memandang perbuatan
secara objektif dan merefleksikan proses berfikirnya, serta dapat membedakan
antra argumentasi dan fakta.
3) Mulai
belajar menyusun hipotesis (perkiraan) sebelum melakukan perbuatan.
4) Dapat
merumuskan dalil / teori, menggenerasikan hipotesis, serta ampu menguji
bermacam-macam hipotesis.
Operasi formal
pada tahap perkembangan mental ini tidak berhubungan dengan ada atau tidaknya
benda-benda konkret, tetapi berhubungan dengan tipe berfikir. Apakah situasinya
disertai dengan benda konkrit atau tidak, tidak menjadi masalah. Piaget
menekankan bahwa proses belajar merupakan suatu proses asimilasi dan akomodasi
informasi kedalam struktur mental. Asimilasi adalah proses terpadunya informasi
dan pengalaman baru kedalam struktur mental. Akomodasi adalah hasil perubahan pikiran sebagai suatu
akibat dari adanya informasi dan pengalaman baru. Ketika para siswa mempunyai
pengalaman baru, mereka secara aktif mencoba menerima ide baru itu dalam kaitannya
dengan pengalaman dan ide-ide lama yang sudah ada.
Suatu istilah
umum untuk teori belajar Jean Piaget adalah contructivism, karena kenyakinannya
bahwa para siswa mengkonstruksi pikiran mereka sendiri dan bukan menjadi
penerima informasi yang bersifat pasif. Sebagai contoh dalam operasi
penjumlahan, anak sudah memahami bahwa 2 + 3 = 5 dngan memanipulasi benda-benda
konkret yang telah dia kenal. Misalnya dia mempunyai 2 buah jeruk, kakaknya
memberikan 3 buah jeruk lagi kepadanya. Dia kumpulkan jeruk-jeruk tersebut
kemudian membilang banyaknya buah jeruk yang dia miliki saat ini. Dengan
pengetahuan dan pengalaman yang telah dia miliki, dia mampu menyatakan bahwa
jumlah jeruknya sekarang adalah 5 buah. Kini dia dapat memisahkan antara konsep
banyaknya jeruk, yaitu 5 buah, yang terdapat pada suatu kumpulan dengan
cara-cara jeruk tadi ditata atau diatur, yaitu 2 dan 3 buah. Oleh sebab itu
sekarang dia dapat mengkonstruksikan bahwa 5 sama dengan 2 + 3. Dengan kata
lain, tahap operasi konkret merupakan dasar untuk berfikir abstrak. Teori ini
di sebuut teori belajar karena berkenaan dengan kesiapan anak untuk mampu
belajar dan di sesuaikan dengan tahapan-tahapan perkembangan anak.
Belajar pada
anak bukan sesuatu yang sepenuhnya tergantung pada guru melainkan harus keluar
dari anak itu sendiri. Berpegang pada teori ini bila kita menginginkan
perkembangan mental anak lebih cepat memasuki ke tahap yang lebih tinggi dapat
di lakukan dengan memperkaya pengalaman-pengalaman anak terutama pengalaman
konkrit, sebab dasar perkembangan mental(kognitif) adalah melalui
pengalaman-pengalaman berbuat aktif terhadap benda-benda sekeliling, dan
perkembangan bahasa merupakan salah satu kunci untuk mengembangan kognitif
anak. Hal ini di pertegas oleh Soepartinah Pakasi bahwa dalam perkembangan
anak, di mana perkembangan kognisinya harus sejalan dengan perkembangan bahasa
sebab perkembangan bahasa dan perkembangan berpikir saling mempengaruhi.
- Bruner dengan metode Penemuannya
Jerome, S Bruner
telah banyak menulis teori belajar, yang kajian khususnya adalah mengenai
bagaimana keyakinan dia terhadap anak-anak yang belajar matematika. Dalam
teorinya ia menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses
pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang termuat
dalam pokok bahasan yang diajarkan, disamping hubungan yang terkait antara
konsep-konsep dan struktur-struktur tersebut. Dengan mengenal konsep dan
struktur yang tercakup dalam materi yang sedang dibicarakan, anak akan lebih
memahami materi yang harus dikuasainya itu. Dengan kata lain, materi yang
mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih mudah dipahamai oleh
anak. Seperti halnya Piaget, Bruner lebih peduli terhadap proses belajar dari pada
hasil belajar.
Oleh sebab itu,
menurut Bruner metode belajar merupakan factor yang sangat menentukan dalam pembelajaran
dibandingkan dengan perolehan suatu kemampuan khusus. Metode yang sangat
didukung oleh Bruner adalah metode belajar dengan penemuan. Dengan metode ini
anak di dorong untuk memahami suatu fakta atau hubungan matematika yang belum
dia pahami sebelumnya, dan yang belum diberikan kepadanya secara langsung oleh
orang lain. Bruner berpendapat mengenai penemuan kegiatan mengorganisasikan
kembali materi pelajaran yang telah dikuasai oleh seorang siswa. Kegiatan ini
berguna bagi siswa tersebut untuk menemukan suatu pola atau “keteraturan” yang
bersifat umum terhadap situasi atau masalah baru yang sedang dihadapinya. Ia
yakin bahwa dalam mempelajari matematika seorang anak perlu secara langsung
menggunakan bahan-bahan manipulative. Bahan-bahan manipulative merupakan benda
konkrit yang dirancang khusus dan dapat diotak-atik oleh siswa dalam berusaha
untuk memahami suatu konsep matematika.
Adanya interaksi
antara siswa dengan lingkungan fisik ini, akan memberikan kesempatan baginya
untuk melaksanakan penemuan. Sehubungan dengan pengalaman fisik ini, Bruner
mengemukakan bahwa dalam proses belajarnya anak melewati tiga tahapan, yaitu :
a. Tahap enaktif (enactive). Dalam tahap
ini anak secara langsung terlbat dalam memanipulasi (menotak-atik) suatu benda.
Sebagai contoh, kita ingin mengenalkan konsep bilangan pecahan yaitu . kita dapat menggunakan sebuah apel yang
dibagi dua sama besar.
b. Tahap ikonik (iconic). Dalam tahap
ini kegiatan yang dilakukan anak sudah behubungan dengan mental, yang merupakan
gambaran dri objek / benda yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung
memanipulasi objek seperti yang dilakukan pada tahap enaktif. Misalnya dengan
menunjukkan pada sajian yang berupa gambar atau grafik.
c. Tahap simbolik (symbolic). Dalam
tahap ini anak tidak lagi terikat dengan objek pada tahap sebelumnya. Anak pada
tahap ini sudah mampu mengggunakan notasi / symbol tanpa ketergantungan
terhadap objek real.
5.
Dewey
dan Teori Pembelajaran Kognitif
Dewey adalah
seorang filsuf dan pendidik, yang lahir tahun 1859 dan meninggal tahun 1952. John
Dewey merupakan salah seorang tokoh pendidikan berkebangsaan Amerika yang menawarkan tentang pola pendidikan partisipatif.
Yang bertujuan untuk lebih memberdayakan peserta didik dalam jalannya proses
pendidikan. Pendidikan partisipatif akan membawa peserta didik untuk mampu
berhadapan secara langsung dengan realitas yang ada di lingkungannya. Sehingga,
peserta didik dapat mengintegrasikan antara materi yang ia pelajari di kelas
dengan realitas yang ada. Konsep pendidikan
John Dewey, tidak bisa serta merta diterapkan di bumi Indonesia.
Sebab, secara
psikologis dan sosiologis negara kita berbeda dengan Amerika Dewey termasuk
aliran pendidikan yang progresif di mana Dewey mengutamakan pada pengertian dan
belajar bermakna, maksudnya anak didik yang belum “siap” jangan di paksa
belajar. Para pendidik atau orang tua sebaiknya menunggu kesiapan peserta didik
atau anak untuk belajar, atau dapat di lakukan mengatur suasana pangajaran
sehingga siswa siap untuk belajar. Setiap orang telah mempunyai pengalaman dan
pengetahuan di dalam dirinya serta pengalaman dan pengetahuan ini tertata dalam
bentuk struktur kognitif (Sugihartono dkk, 2007: 105). Pengalaman dan
pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses penginderaan yang selanjutnya
akan masuk ke dalam memori serta tersusun dalam struktur kognitif. Pada tahap
selanjutnya pengalaman dan pengetahuan yang telah tersusun secara kognitif
tersebut akan bekerja secara psikomotorik untuk pemecahan masalah bagi siswa.
Dari pengertian
di atas dapat disimpulkan bahwa faktor kognitif berasal dari pengalaman dan
pengetahuan yang dimiliki oleh siswa. Menurut teori ini, proses belajar akan
berjalan dengan baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi
(bersinambungan) secara tepat dan serasi dengan struktur kognitif yang telah
dimiliki siswa (Sugihartono dkk , 2007:105). Dari pengertian tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa proses belajar harus dilakukan secara terus-menerus
agar berjalan dengan baik. Proses
belajar yang berkesinambungan akan lebih memiliki manfaat bagi siswa seperti
siswa akan lebih banyak memiliki alternatif pemecahan masalah sehingga masalah
yang dihadapi akan terselesaikan dengan cara yang efisien. Teori kognitif John
Dewey dapat diaplikasikan dalam pembelajaran siswa khususnya pada pembelajaran
kognitif. Pembelajaran kognitif menekankan pada keaktifan siswa dalam berpikir
untuk memecahkan masalah dengan cara merekonstruksi masalah dengan pengetahuan
dan pengalaman yang telah didapat.
Hal ini tentunya
akan melatih siswa untuk berpikir secara rasional dalam memecahkan masalah.
Proses pembelajaran kognitif harus dilakukan secara berkelanjutan agar ada
perkembangan dalam kemampuan berpikir siswa. Tujuan pendidikan menurut teori
belajar kognitif adalah (Sugihartono dkk, 2007):
1) Menghasilkan
individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap
persoalan yang dihadapi.
2) Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga
terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat
direkonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memecahkan masalah
seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam
kehidupan sehari-hari.
3) Peserta
didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi
dirinya. Guru berfungsi sebagai mediator, fasilitator, dan teman yang membuat
situasi menjadi kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri
peserta didik.
Dari penjelasan tersebut dapat
dikatakan bahwa pendidikan kognitif lebih mengarah pada kemandirian siswa
dengan kata lain guru hanya menjadi mediator atau menyampaikan materi
pendidikan. Dengan cara tersebut maka kemampuan siswa menjadi lebih berkembang
sehingga kualitas pendidikan yang dimiliki oleh siswa tersebut menjadi lebih
baik. Dalam upaya mengimplementasikan
teori belajar konstruktivisme, Tyler (1996: 20 dalam Sugihartono dkk, 2007)
mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai
berikut:
1) Memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri
2) Memberi
kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi
lebih kreatif dan imajinatif
3) Memberi
kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru
4) Memberi
pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa
5) Mendorong
siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka
6) Menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif.
6.
William Brownell (Aliran Psikologi Gestalt)
Salah satu ahli
yang memberikan sumbangan pikiran dalam teori belajar adalah William Arthur
Brownell adalah tokoh besar dalam matematika pendidikan di awal abad dua puluh.
Brownell lahir pada tanggal 19 Mei 1895 di Smethport Pennsylvania, dan wafat
pada tanggal 24 mei 1977. Ia menyelesaikan sekolah dasar dan menengahnya di
Smethport dan kemudian melanjutkan pendidikannya di Ailegheni College, di mana
mendapatkan gelar A.B. pada tahun 1917. Setelah lulus, dia kembali ke kampung
halamannya untuk mengajar di sekolah menengah setempat selama empat tahun. Lalu
ia pergi ke Illinois untuk mulai mengerjakan program pascasarjananya di
pendidikan psikologi di universitas Chicago Di Chicago.
Aliran psikologi
Gestalt memandang bahwa pembelajaran harus ditekankan kepada pengertian dan
penuh makna (meaningful learning, atau meaning theory). Salah satu tokoh
penting yang mengemukakan pandangan ini dalam matematika adalah William
Brownell (sekitar tahun 1930-an). Pandangan Brownell ini didasarkan atas
kenyakinan bahwa anak-anak pasti memahami apa yang sedang mereka pelajari jika
belajar secara permanen atau secara terus-menerus untuk waktu yang lama. Salah
satu cara bagi anak untuk mengembangkan pemahaman tentang matematika adalah
dengan menggunakan benda-benda tertentu ketika mereka mempelajari konsep
matematika. Sebagai contoh, pada saat anak-anak baru pertama kali diperkenalkan
dengan konsep membilang, mereka akan lebih mudah memahami konsep itu jika
mereka menggunakan benda konkret yang mereka kenal, seperti : mangga, kelereng,
bola, atau sedotan.
Dengan kata
lain, teori belajara William Brownell ini mendukung penggunaan benda-benda
konkret untuk dimanipulasikan sehingga anak-anak dapat memahami makna dari
konsep dan keterampilan baru yang mereka pelajarai. Aliran psikologi Gestalt
saling mendukung dengan aliran pengaitan dari Thorndike dan aliran pendidikan
progresif Dewey yaitu pengjaran yang ditekankan pada pengertian, belajarbermakna
dan pengaitan. Dan penekanan pada latih hafal yang di lakukan setelah anak
didik memperoleh pengertian. Teori belajar William Brownell didasarkan atas
keyakinan bahwa anak-anak memahami apa yang sedang mereka pelajari jika belajar
secara permanen atau secara terus menerus untuk waktu yang lama. Aritmatika
atau berhitung yang diberikan pada anak-anak SD dulu lebih menitikberatkan
hafalan dan mengasah otak.
Aplikasi dari
bahan yang diajarkan dan bagaimana kaitannya dengan pelajaran-pelajaran lainnya
sedikit sekali dikupas. Salah satu cara bagi anak-anak untuk mengembangkan
pemahaman tentang matematika adalah dengan menggunakan benda-benda tentu ketika
mereka mempelajari konsep matematika. Sebagai contoh, pada saat anak-anak baru
pertama kali di perkenalkan dengan konsep membilang, mereka akan lebih mudah
memahami konsep itu jika mereka menggunakan benda kongkrit yang mereka kenal ;
seperti mangga, kelereng, bola atau sedotan. Dengan kata lain, teori belajar
William brownel ini mendukung penggunaan benda-benda kongkrit untuk
dimanipulasikan sehingga anak-anak dapat memahami makna dari konsep dan
keterampilan baru yang mereka pelajari. Anak-anak yang berhasil dalam mengikuti
pelajaran pada waktu itu memiliki kemampuan berhitung yang jauh melebihi
anak-anak sekarang. Contoh mengenai belajar dengan menghafal dan belajar dengan
pengertian,yaitu:
i.
Siswa belajar dengan
menghafal
1) 3+6
= 9
2) 15+11
= 26
ii.
Siswa belajar dengan pengertian
1) 15+11
= (10+5) + (10+1)
= (10+10) + (5+1)
= 20 + 6
=
26
7.
Teori Zaisa Dienes
Dienes dalam
pengajaran matematika menekankan pengertian, dengan demikian anak di harapkan
akan lebih mudah mempelajarinya dan lebih menarik. Menurut pengamatan dan
pengamatan Dienes bahwa terdapat anak-anak yang menyenangi matematika hanya
pada permulaan, mereka berkenalan dengan matematika yang sederhana, semakin
tinggi sekolahnya semakin “sukar” matematika yang dipelajari makin kurang
minatnya belajar matematika sehingga di anggap matematika itu sebagai ilmu yang
sukar, rumit, dan banyak memperdalam. Kurangnya minat belajar anak terhadap
matematika karena kurangnya pengertian tentang hakikat dan fungsi matematika
itu sendiri.
Padahal
matematika itu salah satu jalan untuk menurut Slamet Imam Santoso merupakan
salah satu jalan untuk menuju pemikiran
yang jelas, tepat, dan teliti pemikiran mana melandasi semua ilmu pengetahuan dan filsafat, bahkan jatuh bangun
suatu negara tergantung dari kemajuan matematikanya(Moris Kline). Menurut ET
Russefendi agar anak didik memahami dan mengerti akan konsep (struktur)
matematika seyogyanya diajarkan dengan urutan konsep murni, di lanjutkan dengan
konsep notasi, dan di akhiri dengan konsep terapan, di samping itu untuk dapat
mempelajari dengan baik struktur matematika maka representasinya (model)
dimulai dengan benda-benda kongkrit yang beraneka ragam. Misalnya anak akan
lebih cepat memahami arti benda-benda bila di sajikan berbagai bentuk dan jenis
benda-benda, atau dengan kata lain bahwa benda-benda yang akan diamati harus
beraneka ragam. Untuk membangkitkan dan memelihara minat belajar anak atau
peserta didik perlu di ciptakan suasana santai saat belajar, memberikan
kesempatan bermain dan permainan akan lebih baik jika dikaitkan dengan bermain
dengan pelajaran matematika.
- Metode Mengajar Matematika
Apabila kita
ingin mengajarkan sesuatu kepada anak/peserta didik dengan baik dan berhasil
pertama-tama yang harus diperhatikan adalah metode atau cara pendekatan yang
akan di lakukan, sehingga sasaran yang diharapkan dapat tercapai atau
terlaksana dengan baik, karena metode atau cara pendekatan yang dalam fungsinya
merupakan alat untuk mencapai tujuan. Dengan demikian jika pengetahuan tentang
metode dapat mengaplikasikannya dengan tepat mka sasaran untuk mencapai tujuan
akan semakin efektif dan efisien. Metode mengajar yang di terapkan dalam suatu
pengajaran di katakan efektif bila menghasilkan sesuatu sesuai dengan yang di
harapkan atau dengan kata lain tujuan tercapai, bila makin tinggi kekuatannya
untuk menghasilkan sesuatu makin efektif metode tersebut. Sedangkan metode
mengajar dikatakan efisien jika penerapannya dalam menghasilkan sesuatu yang di
harapkan itu relatif menggunakan tenaga, usaha pengeluaran biaya, dan waktu
minimum atau semakin kecil tenaga, usaha, biaya dan waktu yang di keluarkan
semakin efisien metode itu.
Metode atau cara
atau pendekatan yang diharapkan dapat terlaksana dengan baik, jika materi yang
akan diajarkan dirancang terlebih dahulu. Dengan kata lain bahwa untuk
menerapkan suatu metode atau cara atau pendekatan dalam pengajaran matematika
sebelumnya menyusun strategi belajar mengajar, dengan strategi belajar mengajar
yang sudah tersusun dapat ditentukan metode mengajar, atau tekhnik mengajar dan
akhirnya dapat dipilih alat peraga atau media pelajaran sebagai pendukung
materi pelajaran yang akan diajarkan.
BAB 4
PENUTUP
v Kesimpulan
Strategi
pembelajaran adalah siasat atau kiat yang sengaja direncanakan oleh guru,
berkenaan dengan segala persiapan pembelajaran agar pelaksanaan pembelajaran
berjalan dengan lancar, dan tujuan yang berupa hasil belajar dapat tercapai
secara optimal. Strategi belajar adalah
strategi siswa dalam mempelajari konsep-konsep matematika dan dalam
menyelesaikan soal-soalnya. Sedangkan strategi mengajar adalah strategi yang
dipergunakan guru dalam mengolah materi matematika untuk pengajaran.
Metode
pembelajaran adalah cara menyajikan materi yang masih bersifat umum. Misalnya
seorang guru menyajikan materi dengan penyampaian yang didominasi cara lisan,
lalu sekali-sekali ada Tanya jawab. Model pembelajaran dimaksudkan sebagai pola
interaksi siswa dengan guru didalam kelas yang menyangkut strategi, pendekatan,
metode dan teknik pembelajaran yang diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan
belajar-mengajar. Bagi guru matematika yang mempelajari bagian ini akan sangat
berguna dalam meningkatkan kemampuan dirinya sebagai guru matematika yang
professional, karena dengan menguasai materi serta aplikasinya akan meningkat
pula wawasan kemampuan untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran matematika di
dalam kelas.
Tidak hanya
tingkat kedalaman konsep yang diberikan pada siswa yang harus disesuaikan
dengan tingkat kemampuannya, cara penyampaian materi pun demikiann pula. Guru
harus mengetahui tingkat perkembangan mental anak dan bagaimana pengajaran yang
harus dilakukan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan tersebut. Pembelajaran
yang tidak memperhatikan tahap perkembangan mental siswa besar kemungkinan akan
mengakibatkan siswa mengalami
kesulitan, karena apa yang disajikan
pada siswa tidak sesuai dengan kemampuannya dalam menyerap materi yang diberikan. Begitu
pentingnya pengetahuan tentang teori pembelajaran dalam system penyampaian
materi di depan kelas, hingga setiap metode pengajaran harus disesuaikan dengan
teori-teori yang dikemukakan oleh ahli pendidikan.
Beberapa teori
belajar dalam psikologi diaplikaskan dalam pendidikan, dan diungkapkan
bagaimana implikasinya dalam pembelajaran matematika. Setelah mempelajari
bagian ini diharapkan mahasiswa memiliki sejumlah kemampuan tertentu. Kemampuan
ini, sebagai tujuan mempelajari bagian ini mahasiswa dapat memahami teori
psikologi pembelajaran serta mampu menerapkannya dalam pelaksanaan pembelajaran
matematika.
DAFTAR PUSTAKA
Simanjuntak Lisnawaty, Dra, Drs.
Poltak Manurung, dan Domi C. Matutina.1992. Metode Mengajar Matematika. Jakarta.
Rineka Cipta.
Hudoyo, Herman.1988.Belajar
Mengajar Matematika.Jakarta:Depdikbud
http://www.itachi » Blog Archive »
macam-macam teori pembelajaran.htm
Islamuddin, Haryu. 2011. Psikologi
Pendidikan. Jember. STAIN PRESS JEMBER.
Ratna Wilis Dahar, Prof. 1996.
Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
Santrock, W. John. 2007.
Perkembangan Anak. Jakarta. Erlangga.
......................................Jilid
2. Jakarta. Erlangga.
Wiriatmadja Rochiati, Prof, Dr.
2005. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung. PT Remaja rosdakarya.
Drs. Soemanto, Wasty, M.Pd. 2006.
Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar