film

Jumat, 08 November 2013

TEORI PEMBELAJARAN ( PAVLOV, BARUDA, PIAGET, DEWEY, BROWNELL, DIENES )



BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Pendidik yang pertama dan yang paling utama adalah orang tua berupaya maksimal memberikan yang terbaik terhadap perkembangan anak, sehingga dapat bertumbuh mengikuti norma-norma kehidupan yang tidak bertentangan dengan ajaran agama norma-norma kesusilaan, harapan maupun kaidah-kaidah hukum. Dalam tahap proses belajar yang di utamakan adalah kematangan terhadapa diri anak, karena bagaimanapun juga bahwa hasil yang di capai tidak akan memberikan hasil yang memuaskan.   Berbicara mengenai teori belajar dan mengajar matematika berarti berbicara mengenai ”bagaimana” dan ”kepada siapa” suatu topik matematika diajarkan.
Belajar dan mengajar merupakan dua kata yang berbeda, tetapi dalam pelaksanaaannya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Jika pada masa dulu konsep mengajar berarti guru menyampaikan semua pengetahuan matematika yang diketahuinya kepada siswa, tapi pada masa kini mengajar lebih diupayakan pada bagaimana proses pembelajaran dilaksanakan guru sehingga siswa dapat belajar. Siswa menjadi fokus proses pembelajaran (students centered). Salah satu ciri pembelajaran matematika masa kini adalah penyajiannya didasarkan pada teori psikologi pembelajaran yang pada saat ini sedang populer dibicarakan oleh para pakar pendidikan (Suherman, 29). Bila terjadi proses belajar, maka bersama itu pula terjadi proses mengajar. Hal ini kiranya mudah dipahami, karena bila ada yang belajar sudah barang tentu ada yang mengajarnya, dan begitu pula sebaliknya kalau ada yang mengajar tentu ada yang belajar.
Kalau sudah terjadi suatu proses/saling berinteraksi, antara yang mengajar dengan yang belajar, sebenarnya berada pada suatu kondisi yang unik, sebab secara sengaja atau tidak sengaja, masing-masing pihak berada dalam suasana belajar. Jadi guru walaupun dikatakan sebagai pengajar, sebenarnya secara tidak langsung juga melakukan belajar. Berdasarkan etimologi perkataan matematika berarti ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar. Di sisi lain matematika dipadang sebagai ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan lainnya dan terbagi dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis dan geometri.  Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya pasal 1 dinyatakan bahwa teori pembelajaran adalah suatu interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Ketentuan ini membawa implikasi bahwa terjadinya proses pembelajaran berbasis pada aneka sumber yang memungkinkan terciptanya suatu situasi pembelajaran yang “hidup” dan menarik.
Selanjutnya didalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dinyatakan bahwa, proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Secara pragmatis, teori belajar dapat di pahami sebagai prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Siswa-siswa yang berprestasi tinggi umumnya merupakan pembelajar-pembelajar mandiri yang disiplin dan efektif. Sebuah model pembelajaran mandiri meliputi tiga komponen : evaluasi dan monitor diri sendiri, perancang tujuan dan perencanaan strategi ; melaksanakan rencana dalam tindakan, dan memonitor hasil serta menyempurnakan strategi-strategi. Pembelajaran mandiri memberi anak tanggung jawab atas proses belajar mereka. Kemampuan memonitor diri berkembang dimasa remaja. Sehingga, banyak suasana lingkungan memelihara munculnya kreativitas, namun banyak pula lingkungan yang menekannya (Csikszentmihalyi, 1996: Strenberg, Grigorenko, dan Singer.2004).
Orang-orang  yang mendorong kreativitas anak seringkali bertumpu pada keingintahuan alami anak. Mereka menyediakan latihan-latihan dan aktivitas yang menstimulasi anak untuk menemukan pemecahan-pemecahan mendalam terhadap masalah, alih-alih menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan jawaban-jawaban. Howard Gardner (1993) yakin bahwa ilmu pengetahuan, penemuan, dan museum anak menawarkan kesempatan yang banyak untuk menstimulasi kreativitas anak. Titik fokus yang menjadi pusat perhatian suatu teori selalu ada. Ada yang lebih mementingkan proses belajar, ada yang lebih mementingkan sistem informasi yang diolah dalam proses belajar, dan lain-lain.  Namun faktor-faktor lain diluar titik fokus itu seperti lingkungan juga selalu diperlukan untuk menjelaskan proses belajar. Pembelajaran menurut aliran kognitif, yang mana dalam pembelajaran kognitif menitik beratkan belajar aktif, belajar lewat interaksi social, belajar lewat pengalaman pribadi ini di kemukakan oleh jean piaget. Aliran kognitif berjalan dengan baik dan sekarang ini diterapkan seperti pada kurikulum berbasis tujuan pendidikan yang mana didalamnya mempunyai aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Jadi siswa di tuntut untuk aktif di dalam kelas ini merujuk pada pembelajaran menurut aliran kognitif yang menjadikan siswa dapat aktif di dalam proses pembelajaran karena di dalam pembelajarannya guru hanya sebagai fasilitator, sedangkan siswa di sini tidak menjadi objek pembelajaran akan tetapi siswa sebagai subjek dari pembelajaran. Pembahasan ini sangat penting karena mengingat proses belajar yang terjadi didalam kelas berlangsung dalam proses komunikasi yang berisi pesan-pesan yang berkaitan dengan fakta, konsep, prinsip dan keterampilan yang sering digunakan dalam sehari-hari. Proses pembelajaran dituntut untuk secara aktif  berpartisipasi. Keaktifan berpartisipasi ini memberikan kesempatan yang luas mengembangkan potensi, bakat yang dimiliki oleh masing-masing siswa.



                                                           

  1. Rumusan Masalah
  1. Apakah Pengertian belajar bagi seorang anak didik?
  2. Bagaimana teori-teori psikologi pembelajaran matematika dan tokoh-tokohnya?
  3. Bagaimana Metode Pembelajaran Matematika?


  1. Tujuan
  1. Untuk mengetahui pengertian belajar bagi seorang anak didik.
  2. Untuk mengetahui pembagian-pembagian teoro-teori psikologi pembelajaran matematika dan tokoh-tokohnya.
  3. Untuk mengetahui metode pembelajaran matematika.
                                                                       

BAB 2
DAFTAR PUSTAKA
Banyak orang yang beranggapan, bahwa yang di maksud dengan belajar adalah mencari ilmu atau menuntut ilmu. Memang kalau kita bertanya kepada seseorang tentang apakah belajar itu, akan memperoleh jawaban yang bermacm-macam. Perbedaan pendapat orang tentang arti belajar itu disebabkan karena adanya kenyataan, bahwa perbuatan belajar itu sendiri bermacam-macam. Menurut James O. Wittaker, belajar dapat didefinisikan sebagai proses di mana tingkah laku di timbulkan atau di ubah melalui latihan atau pengalaman. Para ahli seperti John Locke pada abad 7 mengemukakan pengalaman dan pendidikan bagi anak merupakan faktor yang menentukan dalam perkembangan anak, sebab kejiwaan anak ketika di lahirkan adalah ibarat secarik kertas yang masih bersih. Dan pernyataan ini di perkuat juga oleh tokoh B Watson (1908-1920) yaitu tokoh Empirisme terkenal dengan behavioristik mengatakan karena jiwa manusia waktu di lahirkan masih bersih, maka untuk menjadikannya sesuai dengan yang dikehendaki kepadanya tinggal diberikan lingkungan dan pengalaman-pengalaman yang diperlukan.
Seorang psikolog dari Amerika Kuno yaitu William James mengungkapkan hasil temuannya bahwa anak yang di lahirkan di tengah-tengah campuran cahaya dan keributan, maka semakin bertambah pula pengetahuan baik berupa penganutan, penglihatan atau karena adanya rangsangan dari luar sehingga anak dapat membedakan dan memisah-misahkan antara cahaya, dengan demikian anak telah mulai mengalami “ proses belajar “. Pendidikan sering di tafsirkan sebagai bimbingan kepada anak untuk mencapai kedewasaan yang kelak mampu berdiri sendiri dan mengejar cita-cita.
 Dengan batasan bimbingan oleh ahlinya maka dapat di simpulkan bahwa tujuan bimbingan pada umumnya untuk membantu individu melalui penyuluhan jiwa, dapat membantu pilihan yang bijaksana, penyesuaian diri, dan penafsiran terhadap situasi yang kritis dalam hidupnya sedemikian rupa untuk menjamin perkembangan kemampuan pengarahan diri sendiri (John KJ, 1945). Menurut pengamatan dan pengalaman Dines bahwa terdapat anak-anak yang menyenangi matematika hanya pada permulaan, mereka berkenalan dengan matematika yang sederhana, semakin tinggi sekolahnya semakin “sukar “ matematika yang di pelajari makin kurang minatnya belajar matematika sehingga di anggap matematika itu sebagai ilmu yang sukar, rumit, dan banyak memperdayakan. 
Di sisi lain Sears mengungkapkan bahwa kepribadian seseorang banyak di pengaruhi oleh pengaruh hubungan antar orang tua dan anak,  saudara, lingkungan, majalah, koran, siaran televisi dan lain-lain. Sehingga tak satupun orang yang mempunyai kepribadian yang sama di sebabkan oleh pengaruh lingkungan terutama pengaruh dari orang tua karena latar belakang kepribadian dan kemampuan orang tua berbeda-beda. Maka dari itu hendaknya orang tua selalu  berusaha menjadi contoh kepribadian yang hidup atas nilai-nilai yang tinggi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Prof. Dr. Soepartinah Pakasi yang hendaknya kehidupan keluarga “Conducive” bagi, dan membantu pembentukan kepribadian-kepribadian yang kita inginkan sebagai orang tua, sebagai warga negara tyang berpedomana pada Pancasila dan Filsafat Negara. Dengan demikian, anak/remaja akan berangsur-angsur melepas identifikasinya terhadap orang-orang lain sehingga ia mampu menjadi dirinya sendiri.






















                                                                       
BAB 3
PEMBAHASAN
  1. Psikologi Pembelajaran Matematika
Belajar merupakan proses dasar dari perkembangan hidup manusia. Dengan belajar, manusia melakukan perubahan-perubahan kualitif individu sehingga tingkah lakunya berkembang. Semua aktivitas dan prestasi hidup manusia tak lain adalah hasil dari belajar. Menurut rumusan G.A Kimble belajar adalah perubahan yang relatif menetap dalam potensi tingkah laku yang terjadi sebagai akibat dari latihan dengan penguatan dan tidak termasuk perubahan-perubahan karena kematangan, kelelahan atau kerusakan pada susunan saraf, atau dengan kata lain bahwa mengetahui dan memahami sesuatu sehingga terjadi perubahan dalam diri seseorang yang belajar. Di samping itu terdapat paham atau pemikiran lain yang menitikberatkan kepada rangsangan dan jawaban yang lebih di kenal dengan teori “RJ” (rangsangan jawaban) bahwa tingkah laku diperoleh dari proses belajar dengan cara merangsang dari luar, yang mungkin dapat terjadi berulang-ulang dan dengan penguatan melalui cara yang langsung atau tidak langsung memberikan dorongan untuk memberikan jawaban.
Pendidikan sering di artikan sebagai bimbingan kepada anak untuk mencapai kedewasaan yang kelak mampu berdiri sendiri dan mengejar cita-cita. Untuk dapat tercapainya manusia yang dewasa, sesuai dengan tujuan pendidikan, maka perlu dicegah dari pengaruh negatif dan timbulnya gangguan dalam perkembangan anak. Salah satu usaha mencegah gangguan perkembangan kepribadian anak adalah memberikan bimbingan dan penyuluhan. Bimbingan dan penyuluhan merupakan salah satu “upaya nyata” dan telah banyak peranannya dalam ikut membentuk manusia dan masyarakat yang sehat mental. Para ahli di bidangnya memberikan batasan mengenai bimbingan yaitu pelayanan yang terorganisir dengan maksud memberi bantuuan secara teratur pada anak didik (peserta didik) dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dan dalam membina penyesuaian diri terhadap berbagai situasi yang harus ia hadapi.
Dengan batasan bimbingan oleh ahlinya maka dapat disimpulkan bahwa tujuan bimbingan pada umunya untuk membantu individu melalui penyuluhan jiwa, dapat membuat pilihan yang bijaksana, penyesuaian diri, dan penafsiran situasi yang krisis dalam hidupnya sedemikian rupa untuk menjamin perkembangan kemampuan pengarahan diri sendiri (John KJ, 1945). Sesuai dengan sasaran yang ingin di capai yaitu bimbingan dalam belajar, maka pengenalan pembahasan di tujukan pada :
  1. Kemampuan berprestasi di sekolah
  2. Pemahaman tentang kesulitan di sekolah
  3. Penyelesaian kesulitan dalam belajar
  4. Upaya mengatasi kesulitan  anak
  5. Pengamalan sila dari pancasila yaitu sikap menghormati kepentingan dan harga diri orang lain. (uraian ini berpedoman pada buku psikologi untuk membimbing oleh Dra. Ny. Y. Singgih D. Gunarsa).
Menurut MORRIS KLINE (1961) bahwa jatuh bangunnya suatu negara dewasa ini tergantung dari kemajuan di bidang matematika. Dan Slamet Santoso mengemukakan bahwa fungsi matematika merupakan ketahanan Indonesia dalam abad 20 di jalan raya dan bangsa-bangsa. Untuk suatu negara penting karena jatuh bangunnya suatu negara tergantung dari kemajuan di bidang matematikanya.  Oleh karena itu sebagai langkah awal untuk mengarah pada tujuan yang di harapkan adalah mendorong atau memberi motivasi belajar matematika bagi masyarakat khususnya bagi anak-anak atau peserta didik. Keberhasilan proses belajar mengajar matematika tidak terlepas dari persiapan peserta didik dan persiapan dari para tenaga pendidik di bidangnya dan bagi para peserta didik yang sudah mampunyai minat (siap) untuk belajar matematika akan merasa senang dan penuh perhatian mengikuti pelajaran tersebut, oleh karena itu para pendidik harus berupaya untuk memelihara maupun mengembangkan minat atau kesiapan belajar anak didiknya atau dengan kata lain bahwa “teori belajar mengajar matematika harus di pahami” betul-betul oleh para pengelola pendidikan. 
Penggunaan matematika atau berhitung dalam kehidupan manusia sehari-hari telah menunjukkan hasil nyata seperti dasar bagi disain ilmu teknik misalnya perhitungan untuk pembangunan antariksa dan di samping dasar disain ilmu teknik metode matematis memberikan inspirasi kepada pemikiran di bidang sosial dan ekonomi dan dapat memberikan warna kepada kegiatan seni lukis, arsitektur dan musik. Pengetahuan mengenai matematika memberikan bahasa, proses dan teori yang memberikan ilmu bentuk dan kekuasaan yang akhirnya bahwa matematika merupakan salah satu kekuatan utama pembentukan konsepsi tentang alam suatu hakikat dan tujuan manusia dalam kehidupannya.
Salah satu ciri pembelajaran matematika masa kini adalah penyajiannya di dasari oleh teori psikologi pembelajaran yang pada saat ini sedang popular dibicarakan oleh para pakar pendidikan. Pembicaraan mengenai pembelajaran matematika di sekolah, tidak akan pernah bisa terlepas dari teori psikologi yang mendasarinya. Ya, mungkin dapat diibaratkan seperti rasa manis yang melekat pada gula. Jika sifat manisnya hilang, bukan lagi gula namanya. Sebaliknya, kita melepaskan psikologi pembelajaran, maka segala aktifitas yang kita lakukan bukan lagi sebagai proses pembelajaran. Tidak hanya tingkat kedalaman konsep dan keluasan materi yang akan diberikan kepada siswa harus disesuaikan dengan tingkat kemampuannya, cara penyampaian pun demikian juga seharusnya. Guru harus mampu mengetahui tingkat perkembangan mental siswa dan bagaimana pembelajaran yang harus dilaksanakan sesuai dengan tahapan perkembangan tersebut. Pembelajaran yang tidak memperhatikan tahap perkembangan mental siswa, kemungkinan besar akan menyebabkan siswa merasa kesulitan, karena apa yang disajikan tidak sesuai dengan kemampuannya menyerap bahan ajar.


  1. Tokoh-tokoh Aliran Psikologi

  1. Pavlov dengan teori belajar Klasiknya
Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia yaitu desa tempat ayahnya Peter Dmitrievich Pavlov menjadi seorang pendeta. Ia di didik di sekolah gereja dan melanjutkan ke Seminari Teologi. Pavlov lulus sebagai sarjana kedokteran dengan bidang dasar fisiologi. Pavlov adalah ilmuwan Rusia yang terkenal dengan teori belajar klasik. Pavlov terkenal dengan percobaannya menggunakan hewan dan manusia. Pada akhir abad ke-19 ia melakukan penelitian tentang pencernaan. Pada sebagian penelitiannya ia melakukan pengamatan terhadap tingkah laku anjing. Pavlov mencoba menemukan hubungan antara anjing yang melihat makanan dengan keluar air liurnya. Pada mulanya anjing itu dikurung, lalu diberi makanan. Sebelum makanan itu diberikan, nampak anjing itu mengelurkan air liurnya. Kemudian anjing itu diberi makan terus seperti biasanya, namun sebelum diberi makan bunyikanlah sebuah bel.
Seperti biasanya anjing itu mengelurkan air liurnya. Akhirnya dicoba menyembunyikan bel tanpa memberikan makanan, ternyata anjing itu tetap mengeluarkan air liurnya. Dengan melelehnya air liur anjing setiap Apa yang dikemukakan Pavlov tersebut merupakan suatu pembiasaan (conditioning). Dengan melelehnya air liur anjing setiap mendengarkan bunyi lonceng oleh pavlov melihat ada hubungan bersyarat anatar anjing, makan, dan air liur. Makanan atau lonceng merupakan stimulus untul keluarya air liur, sehingga makanan disebut stimulus tak wajar (refleksi) sedangkan bunyi lonceng di sebut stimulus bersyarat. Dalam hubungannya dengan proses belajar-mengajar, agar siswa belajar dengan baik, maka haruslah dibiasakan. Misalnya agar siswa terbiasa mengerjakan soal pekerjaan rumah (PR) dengan baik, sebagai guru sebaiknya membiasakan untuk memeriksanya, menjelaskannya, ataupun memberikan nilai terhadap hasil pekerjaan siswanya.

  1. Baruda
Albert Bandura dilahirkan pada tanggal 4 Desember  1925 di Mondere Alberta, Canada. Dia memperoleh gelar Master di bidang psikologi pada tahun 1951 dan setahun kemudian ia juga meraih gelar doktor (Ph.D). Setahun setelah lulus, ia bekerja di Standford University.  Albert Bandura sangat terkenal dengan teori pembelajaran sosial (Social Learning TheoryAlbert Baruda mengemukakan bahwa seseorang itu belajar melalui proses meniru. Maksud meniru disini bukanlah mencontek, tetapi meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain.
Ia melakukan percobaan bersama dengan rekan-rekannya untuk menemukan adanya pengaruh antara model-model (yang telah dilatih khusus untuk bertingkah laku tertentu) terhadap orang-orang yang melihatnya. Kesimpulan dari hasil penelitiannya adalah bahwa seseorang yang terbiasa melihat orang lain (model) berbuat jahat, maka ia cenderung untuk berbuat jahat, begitu pun sebaliknya. Dengan demikian, implikasi teori ini dalam pembelajaran adalah guru harus menjadi model yang professional, yang layak untuk ditiru siswanya. Seperti sebuah pameo, “guru, digugu dan ditiru”, bukan lantas “guru, digugu walaupun keliru”. Sehingga, ketika seorang anak didik tidak boleh mengikuti kekeliruan seorang guru, dan juga seorang guru tidak boleh melakukan kekeliruan karena beliaulah contoh bagi anak didiknya.

  1. Piaget
Jean Piaget lahir pada tanggal 9 Agustus 1896 di Neuchatel, Swiss. Sejak masa remaja, dia sangat tertarik dengan filsafat. Hal inilah yang mengarahkan minat besarnya kepada epistomologi, suatu cabang ilmu yang mempelajari tentang pengetahuan. Piaget dikenal sebagai ahli ilmu jiwa yang juga berhasil memperoleh gelar doctor dalam bidang biologi (Setiono, 1983 : 12). Piaget menyakini bahwa proses berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Piaget yakin bahwa anak bukan merupakan replica dari orang dewasa. Anak bukan hanya berfikir kurang efisien dibandingkan orang dewasa, melainkan juga berfikir secara berbeda dengan orang dewasa. Hal inilah yang menyebabkan Piaget yakin bahwa ada tahap perkembangan kognitif yang berbeda dari mulai anak sampai menjadi orang dewasa (Suparno : 2000). Ia mengadakan penelitian kepada anak-anak orang barat dimulai dengan penelitian kepada anaknya sendiri.
Dari penelitian itu timbullah teori belajarnya yang biasa disebut “Teori Perkembangan Mental Manusia”. Perkataan “mental” pada teori itu biasa disebut “intelektual” atau “kognitif”. Teorinya disebut teori belajar sebab berkenaan dengan kesiapan anak untuk mampu belajar. Teorinya ini menetapkan ragam dari tahap-tahap perkembangan intelektual manusia dari lahir samapi dewasa serta ciri-cirinya dari setiap tahap itu (Ruseffendi, 1991 : 132). Menurut teori Piaget, perkembangan mental manusia itu tumbuh secara kronologis melalui empat tahap yang berurutan. Empat tahap yang dimaksudkan oleh teori perkembangan kognitif dari Piaget tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Tahap sensori motor (dari lahir sampai umur sekitar 2 tahun).
  2.  Tahap pra-operasional (umur dari sekitar 2 tahun sampai sekitar 7 tahun).
  3. Tahap operasi konkret (umur dari sekitar 7 tahun sampai sekitar 12 tahun).
  4. Tahap operasi formal (umur dari sekitar 12 tahun sampai dewasa).
Beberapa ciri utama pada setiap tahapan perkembangan kognitif menurut Piaget adalah sebagai berikut :
a)      Tahap Sensori-Motor (Sensori-Motor Stage)
Pada tahap ini anak mengembangkan konsep pada dasrnya melalui interaksi dengan dunia fisik. Para guru tidak terkait secara langsung dengan anak-anak atau bayi seperti ini. Namun, para guru perlu mengetahui dan menyadari bahwa sejak usia ini dasar-dasar pertumbuhan mental dan belajar matematika sudah mulai dikembangkan. Secara lebih terperinci, beberapa ciri tahap sensori-motor adalah sebagai berikut :
1)     Anak belajar mengembangkan dan menyelaraskan gerak jasmaninya.
2)      Anak berfikir/belajar melalui perbuatan dan gerak.
3)      Anak belajar mengaitkan symbol benda dengan benda konkretnya, hanya masih sukar. Missal : mengaitkan penglihatan mentalnya dengan penglihatan real dari benda yang disembunyikan.
4)      Mulai mengotak-atik benda.
b)      Tahap Pra-Operasional (Pre-Operasional Stage)
Pada tahap ini anak sudah menggunakan bahasa untuk menyatakan suatu ide, tetapi ide tersebut masih sangat tergantung pada persepsinya. Pada tahap ini anak telah mulai menggunakan simbol, dia belajar untuk membedakan antara kata atau istilah tersebut. Pada tahap ini anak juga sudah mulai mengenal ide tentang “kekekalan”, “tidak berubah”, atau “konservasi” yang sederhana, walaupun belum sempurna benar. Anak tidak melihat abahwa banyaknya objek adalah tetap atau tidak berubah, tanpa memperhatikan susunan ruang yang ditempati objek tadi. Tahap pra-operasional ini dibagi kedalam tahap berfikir prakonseptual dan tahap berfikir intuitif (Ruseffendi, 1991). Adapun tahap ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Ruseffendi, 1991 ; Bybee, 1982) :
1)      Sebaran umur dari sekitar tahun 2 tahun sampai sekitar 7 tahun, tahpa berfikir pra-konseptual sekitar 2-4 tahun, tahap berfikir intuitif sekitar 4-7 tahun.
2)      Bila kita bandingkan pada tahap ini anak berfikir internal (penghayatan kedalam) sedangkan pada tahap sensori-motor dengan gerak atau perbuatan. Anak pada tahap pra-konseptual memungkinkan representasi sesuatu itu dengan bahasa, gambar, dan khayalan. Penilaian dan perkembangan anak pada tahap berfikir intuitif didasarkan pada persepsi pengalaman sendiri, bukan kepada penalaran.
3)      Anak mengkaitkan pengalaman yang ada pada dunia luar dengan pengalaman pribadinya. Anak mengira pada cara berfikir dan pengalamannya dimiliki pula oleh orang lain. Misalnya bila ia melihat sebuah gambar terbalik dari sisi meja yang satu, mengira bahwa temannya yang berhadapan dengan dia di sisi lain dari meja itu terlihat gambar itu terbalik pula. Karena itu kita akan menemukan bahwa anak-anak pada tahap ini sangat egois (egosentris).
4)      Anak mengira bahwa benda tiruan memiliki sifat-sifat benda yang sebenarnya (animisme).
5)      Anak pada tahap ini tidak dapat membedakan kejadian yang sebenarnya (fakta) dengan khayalannya (fantasi).
6)      Anak berpendapat bahwa benda-benda itu berbeda jika kelihatannya berbeda, dengan kata lain :
a)      Anak belum memiliki konsep kekekalan banyak.
b)      Anak belum memiliki konsep kekekalan materi (zat)
c)      Anak belum memiliki konsep kekekalan panjang
d)     Anak belum memiliki konsep kekekalan luas
e)      Anak belum memiliki konsep kekekalan berat
f)       Anak belum memiliki konsep kekekalan isi
7)      Pada tahap ini anak kesulitan membalikkan dan mengulang pemikiran (perbuatan), sehingga anak pada tahap ini kesulitan melakukan operasi invers.
8)      Anak sulit memikirkan dua aspek atau lebih dari suatu benda secara serempak.
9)      Anak tidak berfikir induktif maupun deduktif, tetapi anak berfikir transduktif.
10)  Anak mampu memanipulasi benda konkret.
11)  Anak mulai dapat membilang menggunakan benda konkret, misalnya jari tangan.
12)   Pada tahap akhir ini anak dapat memberikan alas an atas keyakinannya, dapat mengelompokkan benda berdasarkan satu sifat khusus yang sederhana, dan mulai dapat memahami konsep yang sederhana.
13)  Anak belum dapat memahami korespondensi satu-satu untuk memahami banyaknya (kesamaan dan ketidaksamaan).
14)  Anak kesulitan memahami konsep ketakhinggaan dan pembagian tak terbnatas dari sebuah ruas garis atas ruas garis-ruas garis yang lebih kecil panjangnya.
Mirip dengan ciri ke-12 diatas, Piaget (Crain, 1980) mengemukakan bahwa pada tahap pra-operasional, anak kesulitan untuk mengklasifikasikan objek secara kompleks. Misalnya dari 20 bola kayu, 18 bola berwarna coklat dan 2 bola berwarna putih. Ketika anak ditanya manakah yang lebih banyak, bola kayu atau bola yang berwarna coklat??? Maka anak akan menjawab coklat yang lebih banyak.
c)      Tahap Operasi Konkret (Concrete Operasional Stage)
Selama tahap ini anak mengembangkan konsep dengan menggunakan benda-benda konkret untuk menyelidiki hubungan dan model-model ide abstrak. Bahasa merupakan alat yang sangat penting untuk menyatakan dan mengingat konsep-konsep. Pada tahap ini anak sudfah mulai berfikir logis. Befikir logis ini terjadi sebagai akibat adanya kegiatan anak memanipulasi benda-benda konkret. Oleh sebab itu pada tahap ini sudah dapat diterima dengan mantap oleh anak. Sebagai contoh, kita ambil dua gelas yang sama ukurannya. Masing-masing gelas diisi dengan air yang sama banyak volumenya. Kedua gelas yang berisi air tersebut ditunjukkan kepada seorang anak. Kita tanyakan kepada dia “apakah sama ataukah tidak banyaknya air dalam kedua gelas ini???” menurut Jean Piaget, anak-anak akan menjawab “sama benyaknya”. Selanjutnya, air dalam salah satu gelas tadi dituangkan semuanya pada sebuah gelas yang tinggi dan garis tengahnya lebih kecil. Sekarang kedua gelas yang berisi air itu kita tunjukkan kepada anak tadi. Ajukan pertanyaan yang sama kepada anak itu. Menurut Jean Piaget, anak akan tetap menjawab sama banyaknya. Alasannya adalah karena :
 (1) Tampak lebih tinggi,
(2) anak menggunakan pikiran logis,
(3) anak berada pada tahap berfikir operasi konkret.
Kita juga banyak menjumpai sifat kekekalan pada konsep bilangan, contohnya antara lain :
3 = 1 + 2 = 1 + 1 + 1 = 5 – 2 = 12 : 4 = 1 x 3 = 3
5 x 4 = 4 x 5
0,25 =  = 25 % dan lain sebagainya.
Umur anak ketika mulai memahami konsep kekekalan adalah sebagai berikut :
1)      Konsep kekekalan bilangan, sektar 5 – 7 tahun.
2)      Konsep kekekalan banyaknya zat, umur 7 – 8 tahun.
3)      Konsep kekekalan panjang, sekitar 7 – 8 tahun.
4)      Konsep kekekalan luas, sekitar 8 – 9 tahun.
5)      Konsep kekekalan berat, sekitar 9 – 10 tahun.
6)      Konsep kekekalan volume, kadang-kadang mulai pada tahap berfikir formal (11 – 12 tahun).
Selain ciri-ciri diatas, pada tahap operasi konkret anak juga sudah mampu melihat sudut pandang orang lain dan mengetahui mana benar dan mana salah. Anak juga mulai senang dengan membuat benda bentukan atau alat-alat mekanis, misalnya membuat mobil-mobilan dari bamu dan kulit jeruk. Namun pada tahap ini masih cenderung mengalami kesulitan untuk menjelaskan peribahasa dan belum mampu memahami arti yang tersembunyi. Satu hal yang perlu dicamkan, tahap operasi konkret bukan berarti pada tahap ini anak tidak mengerti konsep tanpa benda konkret, akan tetapi disebabkan karena anak-anak pada tahap ini mendapat kesukaran untuk menerapkan proses intelektual formal kedalam symbol-simbol verbal dan ide-ide abstrak. Dari awal tahap operasi konkret ini, sampai menjelang tahap operasi formal, terdapat empat tingkat berfikir yang dilalui oleh anak, yakni :
1)      Berfikir konkret
2)      Berfikir semi konkret
3)      Berfikir semi abstrak
4)      Berfikir abstrak   
Para siswa sekolah dasar di Indonesia umumnya berumur 6 – 12 tahun. Jadi, kebanyakan diantara mereka berada pada tahap operasi konkret. Dalam kaitannya dengan pembelajaran matematika SD, pada tahap ini anak dapat “mengelompokkan” benda-benda konkret berdaarkan warna, bentuk, atau ukurannya. Misalnya kita menyediakan sekelompok benda konkret berupa bangun-bangun geometri datar seperti : segitiga, segiempat, segilima, dan segienam. Setiap bangun geometri tersebut berwarna tertentu, misalnya berwarna merah, kuning, hijau, biru dan hitam. Kita dapat meminta anak untuk mengumpulkan bangun geometri yang berwarna merah. Anak juga dapat diminta untuk mengumpulkan bangun geometri yang berbentuk segitiga. Anak juga dapat mengumpulkan segitiga yang berwarna merah. Disamping itu, anak juga dapat diminta mengurutkan segiempat berdasrkan ukurannya, misalnya dari kecil ke besar atau sebaliknya.
d)     Tahap Operasi Formal (Formal Operational Stage)
Ini merupakan tahap berfikir terakhir dari perkembangan intelektual manusia menurut Piaget. Ciri-ciri yang tampak antara lain :
1)      Anak sudah mampu berfikir secara abstrak, tidak memerlukan lagi perantara operasi konkret untuk menyajikan abstraksi mental secara verbal.
2)      Dia dapat mempertimbangkan banyak pandangan sekaligus, dapat memandang perbuatan secara objektif dan merefleksikan proses berfikirnya, serta dapat membedakan antra argumentasi dan fakta.
3)      Mulai belajar menyusun hipotesis (perkiraan) sebelum melakukan perbuatan.
4)      Dapat merumuskan dalil / teori, menggenerasikan hipotesis, serta ampu menguji bermacam-macam hipotesis.
Operasi formal pada tahap perkembangan mental ini tidak berhubungan dengan ada atau tidaknya benda-benda konkret, tetapi berhubungan dengan tipe berfikir. Apakah situasinya disertai dengan benda konkrit atau tidak, tidak menjadi masalah. Piaget menekankan bahwa proses belajar merupakan suatu proses asimilasi dan akomodasi informasi kedalam struktur mental. Asimilasi adalah proses terpadunya informasi dan pengalaman baru kedalam struktur mental. Akomodasi  adalah hasil perubahan pikiran sebagai suatu akibat dari adanya informasi dan pengalaman baru. Ketika para siswa mempunyai pengalaman baru, mereka secara aktif mencoba menerima ide baru itu dalam kaitannya dengan pengalaman dan ide-ide lama yang sudah ada.
Suatu istilah umum untuk teori belajar Jean Piaget adalah contructivism, karena kenyakinannya bahwa para siswa mengkonstruksi pikiran mereka sendiri dan bukan menjadi penerima informasi yang bersifat pasif. Sebagai contoh dalam operasi penjumlahan, anak sudah memahami bahwa 2 + 3 = 5 dngan memanipulasi benda-benda konkret yang telah dia kenal. Misalnya dia mempunyai 2 buah jeruk, kakaknya memberikan 3 buah jeruk lagi kepadanya. Dia kumpulkan jeruk-jeruk tersebut kemudian membilang banyaknya buah jeruk yang dia miliki saat ini. Dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah dia miliki, dia mampu menyatakan bahwa jumlah jeruknya sekarang adalah 5 buah. Kini dia dapat memisahkan antara konsep banyaknya jeruk, yaitu 5 buah, yang terdapat pada suatu kumpulan dengan cara-cara jeruk tadi ditata atau diatur, yaitu 2 dan 3 buah. Oleh sebab itu sekarang dia dapat mengkonstruksikan bahwa 5 sama dengan 2 + 3. Dengan kata lain, tahap operasi konkret merupakan dasar untuk berfikir abstrak. Teori ini di sebuut teori belajar karena berkenaan dengan kesiapan anak untuk mampu belajar dan di sesuaikan dengan tahapan-tahapan perkembangan anak.
Belajar pada anak bukan sesuatu yang sepenuhnya tergantung pada guru melainkan harus keluar dari anak itu sendiri. Berpegang pada teori ini bila kita menginginkan perkembangan mental anak lebih cepat memasuki ke tahap yang lebih tinggi dapat di lakukan dengan memperkaya pengalaman-pengalaman anak terutama pengalaman konkrit, sebab dasar perkembangan mental(kognitif) adalah melalui pengalaman-pengalaman berbuat aktif terhadap benda-benda sekeliling, dan perkembangan bahasa merupakan salah satu kunci untuk mengembangan kognitif anak. Hal ini di pertegas oleh Soepartinah Pakasi bahwa dalam perkembangan anak, di mana perkembangan kognisinya harus sejalan dengan perkembangan bahasa sebab perkembangan bahasa dan perkembangan berpikir saling mempengaruhi.

  1. Bruner dengan metode Penemuannya
Jerome, S Bruner telah banyak menulis teori belajar, yang kajian khususnya adalah mengenai bagaimana keyakinan dia terhadap anak-anak yang belajar matematika. Dalam teorinya ia menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang termuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, disamping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur tersebut. Dengan mengenal konsep dan struktur yang tercakup dalam materi yang sedang dibicarakan, anak akan lebih memahami materi yang harus dikuasainya itu. Dengan kata lain, materi yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih mudah dipahamai oleh anak. Seperti halnya Piaget, Bruner lebih peduli terhadap proses belajar dari pada hasil belajar.
Oleh sebab itu, menurut Bruner metode belajar merupakan factor yang sangat menentukan dalam pembelajaran dibandingkan dengan perolehan suatu kemampuan khusus. Metode yang sangat didukung oleh Bruner adalah metode belajar dengan penemuan. Dengan metode ini anak di dorong untuk memahami suatu fakta atau hubungan matematika yang belum dia pahami sebelumnya, dan yang belum diberikan kepadanya secara langsung oleh orang lain. Bruner berpendapat mengenai penemuan kegiatan mengorganisasikan kembali materi pelajaran yang telah dikuasai oleh seorang siswa. Kegiatan ini berguna bagi siswa tersebut untuk menemukan suatu pola atau “keteraturan” yang bersifat umum terhadap situasi atau masalah baru yang sedang dihadapinya. Ia yakin bahwa dalam mempelajari matematika seorang anak perlu secara langsung menggunakan bahan-bahan manipulative. Bahan-bahan manipulative merupakan benda konkrit yang dirancang khusus dan dapat diotak-atik oleh siswa dalam berusaha untuk memahami suatu konsep matematika.
Adanya interaksi antara siswa dengan lingkungan fisik ini, akan memberikan kesempatan baginya untuk melaksanakan penemuan. Sehubungan dengan pengalaman fisik ini, Bruner mengemukakan bahwa dalam proses belajarnya anak melewati tiga tahapan, yaitu :
a. Tahap enaktif (enactive). Dalam tahap ini anak secara langsung terlbat dalam memanipulasi (menotak-atik) suatu benda. Sebagai contoh, kita ingin mengenalkan konsep bilangan pecahan yaitu  . kita dapat menggunakan sebuah apel yang dibagi dua sama besar.
b. Tahap ikonik (iconic). Dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan anak sudah behubungan dengan mental, yang merupakan gambaran dri objek / benda yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung memanipulasi objek seperti yang dilakukan pada tahap enaktif. Misalnya dengan menunjukkan pada sajian yang berupa gambar atau grafik.
c. Tahap simbolik (symbolic). Dalam tahap ini anak tidak lagi terikat dengan objek pada tahap sebelumnya. Anak pada tahap ini sudah mampu mengggunakan notasi / symbol tanpa ketergantungan terhadap objek real.

5.   Dewey dan Teori Pembelajaran Kognitif
Dewey adalah seorang filsuf dan pendidik, yang lahir tahun 1859 dan meninggal tahun 1952. John Dewey merupakan salah seorang tokoh pendidikan berkebangsaan Amerika yang  menawarkan tentang pola pendidikan partisipatif. Yang bertujuan untuk lebih memberdayakan peserta didik dalam jalannya proses pendidikan. Pendidikan partisipatif akan membawa peserta didik untuk mampu berhadapan secara langsung dengan realitas yang ada di lingkungannya. Sehingga, peserta didik dapat mengintegrasikan antara materi yang ia pelajari di kelas dengan realitas yang ada. Konsep pendidikan  John Dewey, tidak bisa serta merta diterapkan di bumi Indonesia.
Sebab, secara psikologis dan sosiologis negara kita berbeda dengan Amerika Dewey termasuk aliran pendidikan yang progresif di mana Dewey mengutamakan pada pengertian dan belajar bermakna, maksudnya anak didik yang belum “siap” jangan di paksa belajar. Para pendidik atau orang tua sebaiknya menunggu kesiapan peserta didik atau anak untuk belajar, atau dapat di lakukan mengatur suasana pangajaran sehingga siswa siap untuk belajar. Setiap orang telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan di dalam dirinya serta pengalaman dan pengetahuan ini tertata dalam bentuk struktur kognitif (Sugihartono dkk, 2007: 105). Pengalaman dan pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses penginderaan yang selanjutnya akan masuk ke dalam memori serta tersusun dalam struktur kognitif. Pada tahap selanjutnya pengalaman dan pengetahuan yang telah tersusun secara kognitif tersebut akan bekerja secara psikomotorik untuk pemecahan masalah bagi siswa.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor kognitif berasal dari pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa. Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi (bersinambungan) secara tepat dan serasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa (Sugihartono dkk , 2007:105). Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa proses belajar harus dilakukan secara terus-menerus agar  berjalan dengan baik. Proses belajar yang berkesinambungan akan lebih memiliki manfaat bagi siswa seperti siswa akan lebih banyak memiliki alternatif pemecahan masalah sehingga masalah yang dihadapi akan terselesaikan dengan cara yang efisien. Teori kognitif John Dewey dapat diaplikasikan dalam pembelajaran siswa khususnya pada pembelajaran kognitif. Pembelajaran kognitif menekankan pada keaktifan siswa dalam berpikir untuk memecahkan masalah dengan cara merekonstruksi masalah dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah didapat.
Hal ini tentunya akan melatih siswa untuk berpikir secara rasional dalam memecahkan masalah. Proses pembelajaran kognitif harus dilakukan secara berkelanjutan agar ada perkembangan dalam kemampuan berpikir siswa. Tujuan pendidikan menurut teori belajar kognitif adalah (Sugihartono dkk, 2007):
1)      Menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.
2)       Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat direkonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.
3)      Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru berfungsi sebagai mediator, fasilitator, dan teman yang membuat situasi menjadi kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa pendidikan kognitif lebih mengarah pada kemandirian siswa dengan kata lain guru hanya menjadi mediator atau menyampaikan materi pendidikan. Dengan cara tersebut maka kemampuan siswa menjadi lebih berkembang sehingga kualitas pendidikan yang dimiliki oleh siswa tersebut menjadi lebih baik.  Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tyler (1996: 20 dalam Sugihartono dkk, 2007) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
1)      Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri
2)      Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif
3)      Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru
4)      Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa
5)      Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka
6)      Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

6.    William Brownell (Aliran Psikologi Gestalt)
Salah satu ahli yang memberikan sumbangan pikiran dalam teori belajar adalah William Arthur Brownell adalah tokoh besar dalam matematika pendidikan di awal abad dua puluh. Brownell lahir pada tanggal 19 Mei 1895 di Smethport Pennsylvania, dan wafat pada tanggal 24 mei 1977. Ia menyelesaikan sekolah dasar dan menengahnya di Smethport dan kemudian melanjutkan pendidikannya di Ailegheni College, di mana mendapatkan gelar A.B. pada tahun 1917. Setelah lulus, dia kembali ke kampung halamannya untuk mengajar di sekolah menengah setempat selama empat tahun. Lalu ia pergi ke Illinois untuk mulai mengerjakan program pascasarjananya di pendidikan psikologi di universitas Chicago Di Chicago.
Aliran psikologi Gestalt memandang bahwa pembelajaran harus ditekankan kepada pengertian dan penuh makna (meaningful learning, atau meaning theory). Salah satu tokoh penting yang mengemukakan pandangan ini dalam matematika adalah William Brownell (sekitar tahun 1930-an). Pandangan Brownell ini didasarkan atas kenyakinan bahwa anak-anak pasti memahami apa yang sedang mereka pelajari jika belajar secara permanen atau secara terus-menerus untuk waktu yang lama. Salah satu cara bagi anak untuk mengembangkan pemahaman tentang matematika adalah dengan menggunakan benda-benda tertentu ketika mereka mempelajari konsep matematika. Sebagai contoh, pada saat anak-anak baru pertama kali diperkenalkan dengan konsep membilang, mereka akan lebih mudah memahami konsep itu jika mereka menggunakan benda konkret yang mereka kenal, seperti : mangga, kelereng, bola, atau sedotan.
Dengan kata lain, teori belajara William Brownell ini mendukung penggunaan benda-benda konkret untuk dimanipulasikan sehingga anak-anak dapat memahami makna dari konsep dan keterampilan baru yang mereka pelajarai. Aliran psikologi Gestalt saling mendukung dengan aliran pengaitan dari Thorndike dan aliran pendidikan progresif Dewey yaitu pengjaran yang ditekankan pada pengertian, belajarbermakna dan pengaitan. Dan penekanan pada latih hafal yang di lakukan setelah anak didik memperoleh pengertian. Teori belajar William Brownell didasarkan atas keyakinan bahwa anak-anak memahami apa yang sedang mereka pelajari jika belajar secara permanen atau secara terus menerus untuk waktu yang lama. Aritmatika atau berhitung yang diberikan pada anak-anak SD dulu lebih menitikberatkan hafalan dan mengasah otak.
Aplikasi dari bahan yang diajarkan dan bagaimana kaitannya dengan pelajaran-pelajaran lainnya sedikit sekali dikupas. Salah satu cara bagi anak-anak untuk mengembangkan pemahaman tentang matematika adalah dengan menggunakan benda-benda tentu ketika mereka mempelajari konsep matematika. Sebagai contoh, pada saat anak-anak baru pertama kali di perkenalkan dengan konsep membilang, mereka akan lebih mudah memahami konsep itu jika mereka menggunakan benda kongkrit yang mereka kenal ; seperti mangga, kelereng, bola atau sedotan. Dengan kata lain, teori belajar William brownel ini mendukung penggunaan benda-benda kongkrit untuk dimanipulasikan sehingga anak-anak dapat memahami makna dari konsep dan keterampilan baru yang mereka pelajari. Anak-anak yang berhasil dalam mengikuti pelajaran pada waktu itu memiliki kemampuan berhitung yang jauh melebihi anak-anak sekarang. Contoh mengenai belajar dengan menghafal dan belajar dengan pengertian,yaitu:
i.                    Siswa belajar dengan menghafal
1)      3+6 = 9
2)      15+11 = 26
ii.  Siswa belajar dengan pengertian
1)      15+11 = (10+5) + (10+1)
= (10+10) + (5+1)
                          = 20 + 6
                        = 26

7.    Teori Zaisa Dienes
Dienes dalam pengajaran matematika menekankan pengertian, dengan demikian anak di harapkan akan lebih mudah mempelajarinya dan lebih menarik. Menurut pengamatan dan pengamatan Dienes bahwa terdapat anak-anak yang menyenangi matematika hanya pada permulaan, mereka berkenalan dengan matematika yang sederhana, semakin tinggi sekolahnya semakin “sukar” matematika yang dipelajari makin kurang minatnya belajar matematika sehingga di anggap matematika itu sebagai ilmu yang sukar, rumit, dan banyak memperdalam. Kurangnya minat belajar anak terhadap matematika karena kurangnya pengertian tentang hakikat dan fungsi matematika itu sendiri.
Padahal matematika itu salah satu jalan untuk menurut Slamet Imam Santoso merupakan salah satu jalan untuk  menuju pemikiran yang jelas, tepat, dan teliti pemikiran mana melandasi semua  ilmu pengetahuan dan filsafat, bahkan jatuh bangun suatu negara tergantung dari kemajuan matematikanya(Moris Kline). Menurut ET Russefendi agar anak didik memahami dan mengerti akan konsep (struktur) matematika seyogyanya diajarkan dengan urutan konsep murni, di lanjutkan dengan konsep notasi, dan di akhiri dengan konsep terapan, di samping itu untuk dapat mempelajari dengan baik struktur matematika maka representasinya (model) dimulai dengan benda-benda kongkrit yang beraneka ragam. Misalnya anak akan lebih cepat memahami arti benda-benda bila di sajikan berbagai bentuk dan jenis benda-benda, atau dengan kata lain bahwa benda-benda yang akan diamati harus beraneka ragam. Untuk membangkitkan dan memelihara minat belajar anak atau peserta didik perlu di ciptakan suasana santai saat belajar, memberikan kesempatan bermain dan permainan akan lebih baik jika dikaitkan dengan bermain dengan pelajaran matematika.

  1. Metode Mengajar Matematika
Apabila kita ingin mengajarkan sesuatu kepada anak/peserta didik dengan baik dan berhasil pertama-tama yang harus diperhatikan adalah metode atau cara pendekatan yang akan di lakukan, sehingga sasaran yang diharapkan dapat tercapai atau terlaksana dengan baik, karena metode atau cara pendekatan yang dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan. Dengan demikian jika pengetahuan tentang metode dapat mengaplikasikannya dengan tepat mka sasaran untuk mencapai tujuan akan semakin efektif dan efisien. Metode mengajar yang di terapkan dalam suatu pengajaran di katakan efektif bila menghasilkan sesuatu sesuai dengan yang di harapkan atau dengan kata lain tujuan tercapai, bila makin tinggi kekuatannya untuk menghasilkan sesuatu makin efektif metode tersebut. Sedangkan metode mengajar dikatakan efisien jika penerapannya dalam menghasilkan sesuatu yang di harapkan itu relatif menggunakan tenaga, usaha pengeluaran biaya, dan waktu minimum atau semakin kecil tenaga, usaha, biaya dan waktu yang di keluarkan semakin efisien metode itu.
Metode atau cara atau pendekatan yang diharapkan dapat terlaksana dengan baik, jika materi yang akan diajarkan dirancang terlebih dahulu. Dengan kata lain bahwa untuk menerapkan suatu metode atau cara atau pendekatan dalam pengajaran matematika sebelumnya menyusun strategi belajar mengajar, dengan strategi belajar mengajar yang sudah tersusun dapat ditentukan metode mengajar, atau tekhnik mengajar dan akhirnya dapat dipilih alat peraga atau media pelajaran sebagai pendukung materi pelajaran yang akan diajarkan. 

















BAB 4
PENUTUP
v Kesimpulan
Strategi pembelajaran adalah siasat atau kiat yang sengaja direncanakan oleh guru, berkenaan dengan segala persiapan pembelajaran agar pelaksanaan pembelajaran berjalan dengan lancar, dan tujuan yang berupa hasil belajar dapat tercapai secara optimal.  Strategi belajar adalah strategi siswa dalam mempelajari konsep-konsep matematika dan dalam menyelesaikan soal-soalnya. Sedangkan strategi mengajar adalah strategi yang dipergunakan guru dalam mengolah materi matematika untuk pengajaran.
Metode pembelajaran adalah cara menyajikan materi yang masih bersifat umum. Misalnya seorang guru menyajikan materi dengan penyampaian yang didominasi cara lisan, lalu sekali-sekali ada Tanya jawab. Model pembelajaran dimaksudkan sebagai pola interaksi siswa dengan guru didalam kelas yang menyangkut strategi, pendekatan, metode dan teknik pembelajaran yang diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar. Bagi guru matematika yang mempelajari bagian ini akan sangat berguna dalam meningkatkan kemampuan dirinya sebagai guru matematika yang professional, karena dengan menguasai materi serta aplikasinya akan meningkat pula wawasan kemampuan untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran matematika di dalam kelas.
Tidak hanya tingkat kedalaman konsep yang diberikan pada siswa yang harus disesuaikan dengan tingkat kemampuannya, cara penyampaian materi pun demikiann pula. Guru harus mengetahui tingkat perkembangan mental anak dan bagaimana pengajaran yang harus dilakukan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan tersebut. Pembelajaran yang tidak memperhatikan tahap perkembangan mental siswa besar kemungkinan akan mengakibatkan siswa  mengalami kesulitan,  karena apa yang disajikan pada siswa tidak sesuai dengan kemampuannya dalam  menyerap materi yang diberikan. Begitu pentingnya pengetahuan tentang teori pembelajaran dalam system penyampaian materi di depan kelas, hingga setiap metode pengajaran harus disesuaikan dengan teori-teori yang dikemukakan oleh ahli pendidikan.
Beberapa teori belajar dalam psikologi diaplikaskan dalam pendidikan, dan diungkapkan bagaimana implikasinya dalam pembelajaran matematika. Setelah mempelajari bagian ini diharapkan mahasiswa memiliki sejumlah kemampuan tertentu. Kemampuan ini, sebagai tujuan mempelajari bagian ini mahasiswa dapat memahami teori psikologi pembelajaran serta mampu menerapkannya dalam pelaksanaan pembelajaran matematika.

DAFTAR PUSTAKA

Simanjuntak Lisnawaty, Dra, Drs. Poltak Manurung, dan Domi C. Matutina.1992. Metode Mengajar Matematika. Jakarta. Rineka Cipta.
Hudoyo, Herman.1988.Belajar Mengajar Matematika.Jakarta:Depdikbud
http://www.itachi » Blog Archive » macam-macam teori pembelajaran.htm
Islamuddin, Haryu. 2011. Psikologi Pendidikan. Jember. STAIN PRESS JEMBER.
Ratna Wilis Dahar, Prof. 1996. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
Santrock, W. John. 2007. Perkembangan Anak. Jakarta. Erlangga.
......................................Jilid 2. Jakarta. Erlangga. 
Wiriatmadja Rochiati, Prof, Dr. 2005. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung. PT Remaja rosdakarya.
Drs. Soemanto, Wasty, M.Pd. 2006. Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar