film

Minggu, 05 Mei 2013

Hawalah


BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Seiring dengan berkembang pesatnya suatu transaksi yang berlandaskan syariah khususnya dibidang bisnis jasa. Seperti lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank yang mengatas namakan hukum islam di dalamnya akan tetapi dalam pelaksanaannya sangat jauh sekali dengan hukum islam, untuk itu sebagai umat islam, kita harus mengetahui syariah dan tidak melanggar norma-norma yang berlaku. Makalah yang kami buat ini akan memaparkan akad hiwalah yang merupakan salah satu akad terbaru yang bernotaben atas dasar tolong-menolong. Sungguh menarik untuk diketahui oleh kita semua selaku umat islam tentang akad hiwalah ini yang sudah pasti kita akan temukan bila bertransaksi di lembaga pembiayaan syariah.
Akan tetapi, kita juga harus mengerti bagaimanakah akad hawalah dalam islam, karena sebagai umat islam kita wajib mengetahui segala aspek hukum yang kita gunakan dalam kehidupan kita beserta dengan pengambilan (dasar) hukumnya.

B.       Rumusan Masalah
1.      Pengertian dasar hawalah.
2.      Hukum yang terkandung di dalam hadits tersebut.

C.       Tujuan
Agar kita bisa tahu bagaimana seorang ‘Ulama terdahulu merumuskan hokum dari sumber asal di dalam agama Islam.



BAB II
PEMBAHASAN

Hawalah menurut bahasa artinya “pindah”. Menurut istilah, Hawalah adalah pemindahan piutang dari satu tanggungan kepada tanggungan yang lain[1]. Penjelasan yang dimaksud adalah memindahkan hutang dari tanggungan muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal'alaih (orang yang melakukan pembayaran hutang)[2].
Dalam kitab bajuri, hawalah menurut bahasa artinya “memindahkan”, sedangkan menurut istilah adalah memindahkan hak dari tanggungan muhil kepada tanggungan muhal ‘alaih[3].
Menurut hakikatnya, Hawalah merupakan penukaran piutang dengan piutang yang lain. Menurut qaul yang ashah, Hawalah ini dikecualikan dai jenis penjualan piutang dengan piutang karena adanya hajat.
Dalam kitab lain dijelaskan bahwa Hawalah menurut bahasa ialah al-Intiqal dan al-Tahwil, artinya ialah memindahkan atau mengoperkan[4].
Menurut Abdurrahman al-Jaziri, berpendapat bahwa yang dimksud dengan Hiwalah menurut bahasa ialah:
“Pemindahan satu tempat ketempat yang lain”
Sedangkan pengertian Hiwalah secara istilah, para Ulama’ berbeda-beda dalam mendefinisikannya[5], antara lain sebagai berikut:
ü  Menurut Hanafi, yang dimaksud hiwalah
نقل المطالبة من دمة المديون إلى دمة الملتزم
“Memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab pula”.
ü  Al-jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:
نقل الدين من دمة إلى دمة
“Pemindahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain”[6].
ü  Syihab al-din al-qalyubi bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah[7]:
عقد يقتضى انتقال دين من دمة إلى دمة
“Akad yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang kepada yang lain”.
ü  Muhammad Syatha al-dimyati berpendapat bahwa yang dimaksud Hiwalah adalah[8]:
عقد يقتضى تحويل دين من دمة إلى دمة
“Akad yang menetapkan pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”.
ü  Ibrahim al-bajuri berpendapat bahwa Hiwalah adalah:
نقل الحق من دمة المحيل إلى دمة المحال عليه
“Pemindahan kewajiban dari beban yang memindahkan menjadi beban yang menerima pemindahan”.
ü  Menurut Taqiyuddin, yang dimaksud Hiwalah adalah:
إنتقال الدين من دمة إلى دمة
Pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”.
ü  Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan hawalah ialah pemindahan dari tanggungan muhil menjadi tanggunggan muhal ‘alaih[9].
ü  Idris Ahmad, Hiwalah adalah “Semacam akad (ijab qobul) pemindahan utang dari tanggungan seseorang yang berutang kepada orang lain, dimana orang lain itu mempunyai utang pula kepada yang memindahkan.
Dari pengertian-pengertian di atas maka kami dapat mengambil kesimpulan menegenai pengertian Hiwalah, bahwa hiwalah secara bahasa adalah al-Intiqal artinya ialah memindahkan atau mengoperkan, sedangkan hiwalah secara istilah ialah pemindahan dari tanggungan muhil menjadi tanggunggan muhal ‘alaih.
Pelaksanaan Al-Hiwalah dibenarkan dalam islam. Sebagaimana sabda Rosullah saw yang menjadi dasar hokum hawalah:
قال أبو داود : حدثنا القعنبي عن مالك عن ابن أبي الزناد عن الأعرج ، عَن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال مطل الغني ظلم وإذا اتْبع أحدكم على ملي فليتبع.
Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah sebuh kedzaliman. Dan, jika salah seorang dari kamu diikutkan (di-hawalahkan) kepada oang yang mampu/kaya maka terimalah hawalah itu.”

A.    Arti Mufradah
مطل             : menunda pembayaran hutang yang sudah harus dibayar tanpa udzur.
الغني/ ملي     : terdapat banyak penafsirannya, akan tetapi yang dimaksud dalam hadist ini adalah orang-orang yang mampu membayar hutangnya.
اتْبع               : dengan disukunkan ta’ atau ditasydidkan, ialah menjadikan seseorang mengikuti.
فليتبع            : dengan dibina’ maf’ul dan bersambung dengan lam amri, ialah menerima akad hawalah.

B.     Ma’na Hadits
Hadits tersebut di atas menjadi dasar hokum hawalah yang diadopsi oleh para ‘Ulama. Maksud hadits “Orang yang  mampu membayar hutang haram atasnya melalaikan hutangnya. Apabila salah seorang diantara kamu dipindahkan hutangnya kepada orang lain, hendaklah diterima pilihan itu”. Hal ini seperti yang di riwayatkan dari Ibnu Majah:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ ، وَإِذَا أُحِلْتَ عَلَى مَلِيءٍ فَاتْبَعْهُ. رَوَاهُ ابْنُ مَاجَةْ
“Orang yang mampu membayar hutang haram atasnya melalaikan hutangnya. Apabila kamu dipindahkan hutangnya kepada orang lain, hendaklah diterima pilihan itu”
Dan juga hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan Imam Ahmad:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ ، وَإِذَا أُحِيل أحدكم عَلَى مَلِيءٍ فَاتْبَعْهُ. رَوَاهُ البيهقي واحمد
Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah sebuh kedzaliman. Dan, jika salah seorang dari kamu diikutkan (di-hawalahkan) kepada oang yang mampu/kaya maka terimalah hawalah itu.”

C.    Klarifikasi Hadits dan Kandungan Hukumnya
Orang kaya yang mampu membayar hutangnya akan tetapi dia mengulur-ngulur waktu pembayarannya maka hukumnya dzolim dan harom. Jika tidak bisa membayar sebab miskin atau hartanya tidak bersamanya maka tidak dzolim dan harom (tidak tergolong orang yang mampu). Artinya orang tersebut boleh mengulur waktu pembayaran hutangnya sampai ia mampu membayar.
‘Ulama Maliky, ‘Ulama Syafi’iyah serta Jumhur ‘Ulama menyatakan bahwa hadits ini menjadi dasar ketidak bolehan menahan hartanya orang yang tidak mampu membayar dan tidak boleh menahan hartanya sampai ia mampu membayar. Namun yang menjadi perbedaan pendapat ialah apakah orang kaya yang mampu membayar hutangnya dan mengulur-ngulur waktu pembayarannya sudah dihukumi fasik dan syahadahnya tidak diterima dengan hanya satu kali atau harus berulang beberapa kali? Menurut Imam Nawawi ialah harus berulang beberapa kali sampai hal itu menjadi kebiasaannya. Beliau mengatakan bahwa pendapatnya adalah menurut apa yang dikehendaki madzhab kita. Namun pendapat beliau dibantah oleh Imam as-Subky di dalam kitab Syarhi al-Minhaj, bahwa menurut apa yang dikehendaki madzhab kita tidak demikian, melainkan hokum fasiq dan ditolaknya syahadahnya tidak disyaratkan harus berulang beberapa kali. Satu kali saja dia mengulur-ngulur waktu pembayaran sudah dikatakan fasiq dan syahadahnya tidak dapat diterima[10]. Imam as-Subky berlandaskan bahwa tidak menyerahkan hak setelah hak tersebut diminta dan menginginkan adanya udzur termasuk ghashab. Ghashab termasuk dosa besar, sedangkan dosa besar tidak disyaratkan harus berulang[11].
Dan juga yang menjadi perbedaan diantara ‘Ulama ialah apakah sudah dikatakan fasiq seseorang yang mengulur-ngulur pembayaran hutangnya sedangkan orang tersebut sudah mampu membayar sebelum dia ditagih (jatuh tempo)? Berdasarkan keterangan teks hadits di sini ialah harus terlebih dahulu ada penagihan dari orang yang memberi hutang, sebab bahasa menunda-nunda sendiri memberikan indikasi seperti itu[12].
Hadits setelahnya menjelaskan dasar hokum hawalah. Apabila salah seorang diantara kamu dipindahkan hutangnya kepada orang lain, maka terimalah. Hukum menerima perpindahan hutang tersebut menurut Madzhab kita dan Madzhab Maliki serta Jumhur ‘Ulama adalah sunah. Sedangkan menurut Madhab Daud ad-Dhohiri dan lainnya hukumnya wajib, sebab mengikuti tekstual hadits[13].
Imam ar-Rofi’ie berpendapat bahwa hadits di atas terdiri dari dua kata (jumlah) yang tidak saling berhubungan. Hal ini sebab antara dua jumlah tersebut dalam mayoritas riwayat memakai huruf wawu. Namun dalam sebagian riyawat dalam Shohih Bukhori menyebutkan dengan huruf fa’. Huruf fa’ tersebut memberika indikasi keterikatan jumlah sesudah huruf fa’ dengan jumlah sebelum fa’, seakan-akan jumlah sebulum fa’ menjadi alasan (‘illah) dianjurkannya menerima hawalah. Arti yang terkandung dalam hadits tersebut ketika memakai huruf fa’ adalah menghindarkan seseorang dari prilaku dzolim dengan mengulur-ngulur waktu pembayaran. Sebab terkadang orang yang dipindahkan hutangnya (muhtal) bisa menagih kepada orang yang menjadi objek hawalah (muhal ‘alaih) tanpa harus diulur-ulur waktu pembayarannya. Jadi, menerima akad hawalah dari orang yang memindahkan hutang menjadi suatu sebab yang mencegah seseorang melakukan sesuatu yang diharomkan[14].
Syarat-syarat hawalah yang terdapat dalam hadits ialah harus mendapat persetujuan dari Muhil (orang yang memindahkan penagihan yaitu orang yang berhutang) dan Muhtal (orang yang dipindahkan hak penagihannya kepada orang lain yaitu orang yang mempunyai piutang), tidak harus mendapat persetujuan Muhal ’alaih (orang yang dipindahkan kepadanya objek penagihan). Menurut Madzhab Hanafiyah, persetujuan muhal ‘alaih juga disyaratkan dalam akad hawalah, sebab maksud dari akad hawalah adalah agar seorang yang memiliki tanggungan hutang tidak mengulur-ngulur waktu pembayaran. Jika persetujuan muhal alaih tidak syaratkan dalam akad hawalah maka akan menafikan maksud daripada akad hawalah, yang artinya muhal alaih akan mengulur-ngulur waktu pembayaran dengan beralasan tidak menyetujui akad hawalah tersebut[15].
Apabila hawalah sudah sudah mencukupi syarat dan disepakati oleh muhil dan muhtal maka muhtal tidak boleh menagih kepada muhil. Hal ini berdasarkan pada pensyaratan kaya pada orang yang menjadi muhal ‘alaih. Jika masih diperbolehkan menagih kepada muhil maka pensyaratan kaya dalam hadits tidak memiliki faedah sama sekali. Menurut ‘Ulama Hanafiyah hokum menagih hutangnya kepada muhil diperbolehkan jika hutang yang berada pada muhal ‘alaih tidak bisa untuk diterima karena bangkrut atau lainnya sebagainya.






BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Hukum mengulur-ngulur pembayaran hutang yang sudah diminta oleh pemiliknya dengan tanpa udzur adalah harom dan dholim, apabila orang yang mengulur-ngulur tersebut bisa untuk membayar hutangnya, baik orang tersebut dikatagorikan orang kaya atau tidak.
Sedangkan hukum menerima akad wakalah dari pihak muhil adalah sunah, jika orang yang menjadi objek pengalihan hutang tersebut tergolong orang yang mampu membayarnya. Hal ini juga bisa didasarkan pada factor pencegahan mengulur-ngulur waktu pembayaran dari muhal ‘alaih yang terkadang membayar hutangnya tanpa mengulur-ngulur waktu apabila muhtal yang menagih.

B.       Saran
Seseorang memandang kebaikan (maslahat) haruslah dipandang dari semua aspek baik dari norma manusiawi dan agama. Jika pandangan dari dua aspek tersebut mengklaim hal itu sudah merupakan maslahah maka hal itulah maslahah. Sebab, terkadang manusia tidak bisa mengetahui rahasia pensyari’atan suatu hukum oleh agama.




DAFTAR PUSTAKA

Imam Taqiyyudin, Kifayatul Akhyar,
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13, Bandung : PT Al-ma'rif, Cet 1, 1987.
Al-Bajuri ‘ala ibni Qasim al-Ghozy, juz awal
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah,
Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-‘Arba’ah, hal.210
al-Bakry ad-Dimyaty, I’anatuttalibin,
Ibnu Hajar al-‘Atsqolany, Fathul Bari li Ibni Hajar, Maktabah Syamilah (Digital), An-Nawawy, Syarhu an-Nawawi ‘ala Muslim, Maktabah Syamilah (Digital),
Ahmad bin Ahmad bin Salamah al-Qulyubi, Hasyiyah Qulyubi, Maktabah Digital




[1] Imam Taqiyyudin, Kifayatul Akhyar, hal.611
[2] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13, Bandung : PT Al-ma'rif, Cet 1, 1987. Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13, Bandung : PT Al-ma'rif, Cet 1, 1987.
[3] Al-Bajuri ‘ala ibni Qasim al-Ghozy, juz awal
[4] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, hal: 99
[5] Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-‘Arba’ah, hal.210
[6] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, hal: 99
[7] Ahmad bin Ahmad bin Salamah al-Qulyubi, Hasyiyah Qulyubi, Maktabah Digital, hlm. 4/332
[8] al-Bakry ad-Dimyaty, I’anatuttalibin, hal.74
[9] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, hal.43
[10] Ibnu Hajar al-‘Atsqolany, Fathul Bari li Ibni Hajar, Maktabah Syamilah (Digital), hlm. 4/131
[11] Ibid.
[12] An-Nawawy, Syarhu an-Nawawi ‘ala Muslim, Maktabah Syamilah (Digital), hlm. 10/227
[13] Ibid.
[14] Ibnu Hajar al-‘Atsqolany, Op. Cit. hlm 4/132
[15] At-Tamhid, Maktabah Digital, hlm. 6/358

Tidak ada komentar:

Posting Komentar