BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sejak dahulu kala bahkan sejak adanya manusia
di muka bumi ini, telah dikenal adanya hubungan antara laki-laki dan perempuan
yang kemudian mengadakan ikatan yang disebut dengan perkawinan. Walaupun cara
dan bentuknya beraneka ragam mulai dari yang sangat sederhana sampai kepada
yang sangat maju dan diatur oleh Undang-Undang atau peraturan
Negara.
Tumbuhnya hubungan antara laki-laki dan
perempuan yang dinamakan perkawinan itu adalah untuk memenuhi kebutuhan
jasmani, kebutuhan rohani dan kebutuhan sosial manusia. Perkawinan yang
dibentuk perlu memiliki syarat-syarat suatu perkawinan agar tujuan dari
perkawinan itu tercapai, terbentuknya suatu perkawinan yang bertanggung jawab
dan kebahagiaan lahir dan bathin.
B. Rumusan
Masalah
Ø Apa
yang disebut dengan pengertian, dasar hukum, tujuan, asas/pinsip, hikmah dari
peminangan dan perkawinan serta rukun dan syarat perkawinan?
C. Tujuan
Ø Agar
kita mengetahui dan memahami apa yang disebut dengan pengertian, dasar hukum,
tujuan, asas/pinsip, hikmah dari peminangan dan perkawinan serta rukun dan
syarat perkawinan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Poligami
Perkataan
poligami berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri daridua pokok kata yaitu polu
dan gamein. Polu berarti banyak, gamein berartikawin.
Jadi poligami berarti perkawinan banyak. Dalam bahasa Indonesiadisebut
"Permaduan". Dalam teori hukum, poligami dirumuskan sebagaisistem
perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari seorang isteri[1].Persoalan
poligami telah merupakan sejarah umat manusia daridahulu kala dan merata dalam
bentuk sipilisasi bangsa-bangsa terdahulubaik di Timur maupun di Barat[2].
Dengan
demikian dapatlah disimpulkan bahwa poligami sudahdikenal jauh sebelum agama
Islam datang.
Selanjutnya
timbul pertanyaan, apakah poligami sudah ada diIndonesia sebelum agama Islam
datang? Di Indonesia sendiri sebelumdatangnya agama Islam, sistem poligami itu
merupakan lembaga yangdibenarkan oleh Hukum Keluarga, baik dalam stelsel
Unilateral maupundalam stelsel Parental. Malahan kedatangan Islam memberi
kepastianhukum yang menjamin anak-anak yang dilahirkan sebagai keturunan
yangsah dari lembaga perkawinan poligami[3].
Berkaitan
dengan hal di atas, Imam Sudrajat menyatakan[4]:
Meskipun sistem poligami merupakan lembaga yang
dibenarkan oleh Hukum Keluarga, baik dalam stelsel unilateral maupun stelsel
parental, nama di kalangan rakyat murba pada sebagian besar suku bangsa di
Nusantara ini sangatlah tidak lazin adanya ikatan perkawinan antara seorang
pria dengan dua orang wanita atau lebih pada waktu yang bersamaan. Bahkan di
Tenganan Pagringsingan (Bali), terdapat larangan poligami.
Poligami
diatur di dalam Al Qur'an, Surat An-Nisa : 3 yang berbunyi:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terdapat (hak-hak) perempuan yang yatim (bila kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang
saja, atau budak-budak lain yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya"
Menurut
Ahmad Basyir[5]:
Poligami yang diatur dalam Surat An Nisa : 3 di atas,
merupakan jalan keluar dari kewajiban berbuat adil yang mungkin tidak terlaksana
terhadap anak-anak yatim. Dahulu orang-orang Arab suka kawin dengan anak
perempuan yatim yang diasuhnya, dengan maksud agar dapat ikut makan hartanya
dan tidak usah memberi mas kawin. Untuk menghidari agar orang jangan sampai
berbuat tidak adil terhadap anak-anak yatim itu, seorang laki-laki
diperbolehkan kawin dengan perempuan lain, dua, tiga sampai empat orang. Tetapi
itu pun dengan syarat harus berbuat adil.
Dari bunyi
Surat An Nisa : 129 di atas dapatlah disimpulkan, bahwayang berlaku adil secara
mutlak hanya Allah.
Mengingat
syarat harus berbuat adil, penulis mengikuti pendapatyang lazim tentang adil,
yaitu keadilan secara lahiriah.Selanjutnya untuk menjaga agar poligami tidak
disalahgunakanoleh laki-laki yang kurang mendalami maksud dan tujuan perkawinanmenurut
ajaran Islam, atas dasar "maslahat mursalah" negara dibenarkanmengadakan penertiban, tetapi
tidak berkecenderungan untuk menutupsama sekali pintu poligami[6].
Berdasarkan
hal di atas, maka tidak berlebihanlah bahwa apa yangtelah dilakukan Pemerintah
Indonesia bersama Dewan Perwakilan Rakyatagar supaya poligami tidak
disalahgunakan oleh laki-laki yang kurangmendalami maksud dan tujuan
perkawinan, adalah sangat tepat.
Apa yang
telah dikemukakan di atas dapatlah dilihat, bahwa negarakita telah mempunyai
Undang-Undang Perkawinan yang bersifat nasional,yaitu UU No. 1 Tahun 1974, yang
di dalamnya antara lain mengaturpoligami.
UU No. 1
Tahun 1974 diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974dan berlaku secara efektif
pada tanggal 1 Oktober 1975, yaitu pada saatberlakunya Peraturan Pelaksanaannya
(PP No. 9 Tahun 1975).
Atas dasar
hal di atas, maka di Indonesia telah terjadi unifikasihukum dalam bidang
perkawinan yang belaku bagi semua warga negaraIndonesia tanpa memandang mereka
berasal dari golongan pendudukapa dan mereka berasal dari daerah mana. Dengan
demikian UU No. 1Tahun 1974 juga berlaku bagi warganegara Indonesia yang
sebelumberlakunya UU No. 1 Tahun 1974 tunduk kepada KUH Perdata.
Dalam UU No.
1 Tahun 1974 dan Peraturan Pelaksanaannyaditentukan bahwa[7]:
Poligami hanya diperuntukkan bagi mereka yang hukum
dan agamanya mengizinkan seorang pria beristri lebih dari seorang. Hal ini
ditegaskan dalam Penjelasan Umum UU No. 1 Tahun 1974 pada huruf c yang
menyatakan, bahwa Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila
dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama dari yang
bersangkutan mengizinkannya seorang pria dapat beristeri lebih dari seorang.
Di muka
telah dijelaskan, bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tidak menutuppintu bagi pria untuk beristeri
lebih dari seorang, hal ini tidak berartimembuka pintu dalam arti
seluas-luasnya, karena UU No. 1 Tahun 1974memberikan pembatasan yang sangat
berat. Pembatasan itu diatur dalamPasal 3, 4, dan 5 UU No. 1 Tahun 1974.
Seorang pria
yang telah diizinkan oleh hukum masing-masingagamanya dan kepercayaannya untuk
beristeri lebih dari seorang, iaterlebih dahulu harus dapat menunjukkan
alasan-alasan dari syarat-syaratyang secara liminatif telah ditentukan UU No. 1
Tahun 1974 dan PP No. 9Tahun 1975.
B. Alasan-alasan dan Syarat-syarat Poligami
Alasan yang
dipakai oleh seorang suami agar ia dapat beristerilebih dari seorang, diatur
dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 jo.Pasal 41 huruf a PP No. 9 Tahun
1975 yaitu:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai
isteri;
b. Isteri mendapat cacad badan atau penyakit
yang tidak dapatdisembuhkan;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan;
Apabila
salah satu dari alasan di atas dapat dipenuhi, maka alasantersebut masih harus
didukung oleh syarat-syarat yang telah diatur dalamPasa15 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974, yaitu:
a. Ada persetujuan dari isteri/isteri-isteri
b. Adanya kepastian, bahwa suami mampu
menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan, bahwa suami akan berlaku
adil terhadap isteriisteri dan anak-anak mereka.
Persetujuan
yang dimaksud ayat (1) huruf a di atas, tidakdiperlukan lagi oleh seorang
suami, apabila isteri/isteri-isterinya tidakmungkin dimintai persetujuannya dan
tidak dapat menjadi pihak dalamperjanjian atau tidak ada kabar dari isteri
selama sekurang-kurangnya 2(dua) tahun, atau karena sebab lainnya yang perlu
mendapat panilaiandari Hakim Pengadilan (Pasal 5 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974).
Persetujuan
dalam Pasa15 ayat (1) huruf a UU No. 1 Tahun 1974.dipertegas oleh Pasal 41 huruf
b PP No. 9 Tahun 1975, yaitu:
“Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, balk
persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan lisan, pcrsetujuan itu
harus diucapkan di depan Pengadilan.”
Sedangkan
kemampuan seorang suami dalam Pasal 5 ayat (2)huruf b UU No. 1 Tahun 1974,
dipertegas oleh Pasal 41 huruf c PP No. 9 Tahun 1975, yaitu:
Ø Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk
menjamin keperluan isteri-isteridan anak-anak, dengan memperhatikan:
i.
Surat keterangan mengenai penghasilan suami yangditandatangani oleh
bendahara tempat kerja; atau
ii.
Surat keterangan pajak penghasilan; atau
iii.
Surat keterangan lain yang dapat diterima Pengadilan.
Selanjutnya
jaminan keadilan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c UU No. 1Tahun 1974, dipertegas
oleh Pasal 41 huruf d PP No. 9 Tahun 1975, yaitu:
Ada atau
tidaknya jaminan, bahwa suami akan berlaku adilterhadap isteri-isteri dan
anak-anak mereka dengan menyatakanatau janji dari suami yang dibuat dalam
bentuk yang ditetapkanuntuk itu.
Hal di atas,
sebenarnya sesuai dengan Surat An-Nisa : 3, yangmenghendaki syarat-syarat untuk
berpoligami. Cuma Surat An-Nisa : 3tidak merinci persyaratan itu dan hanya
menyinggung ataumenampungnya dengan kata-kata yang luas cakupannya, yaitu:
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap (hakhak) perempuan yang yatim (bila kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya".
Dari apa
yang telah dikemukakan di atas, dapatlah disimpulkan,bahwa syarat bagi seorang
suami untuk beristeri lebih dari seorangmenurut Al-Qur'an, yaitu harus dapat
berbuat adil.
C. Tata Cara Berpoligami
Tata cara
poligami diatur dalam Pasal 4 dan 5 UU No. 1 Tahun1974 jo. Pasal 40 sampai
dengan Pasal 44 PP No. 9 Tahun 1975, yangmenetapkan sebagai berikut :
1. Seorang suami yang bermaksud beristeri lebih
dari satu, wajib mengajukan permohonan secara tertulis, disertai dengan
alasanalasan dan syarat-syarat yang ditentukan oleh Pasal 4 dan 5 UU No. 1
Tahun 1974 jo. Pasal 41 PP No. 9 Tahun 1975, kepada Pengadilan. Bagi suami yang
beragama Islam permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama.
2. Pemeriksaan permohonan poligami harus
dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya;
3. Dalam melakukan pemeriksaan ada dan
tidaknya alasan-alasan dansyarat-syarat untuk poligami, Pengadilan harus
memanggil danmendengar isterinya yang bersangkutan:
4. Apabila Pengadilan berpendapat, bahwa cukup
bagi pemohon untukberisteri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberi
putusannyayang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.
Khusus
mengenai suami yang beragama Islam, Menteri Agamapada tanggal 19 Juli 1975
mengeluarkan Peraturan No. 3 Tahun 1975,tentang Kewajiban Pencatat Nikah dan
Tata Kerja Pengadilan Agamadalam melaksanakan peraturan perundang-undangan
perkawinan bagiyang beragama Islam. Peraturan Menteri Agama tersebut baru
berlakupada tanggal 1 Oktober 1975.
Peraturan
Menteri Agama No. 3 Tahun 1975, adalah pelaksanaanteknis yang harus dipatuhi
oleh hakim.
Pengadilan
Agama dalam memberikan putusan/penetapan izinpoligami maupun oleh Pejabat Nikah
dalam menyelenggarakanperkawinan.
Ketentuan-ketentuan
dari Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun1975 yang berkaitan dengan tata cara
poligami, yaitu Pasal 14 yangmenetapkan sebagai berikut :
1. Apabila seorang suami bermaksud untuk
beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara
tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya dengan
membawa kutipan akta nikah dan surat-surat lainnya yang diperlukan;
2. Pengadilan Agama kemudian memeriksa hal-hal
sebagaimanadiatur dalam Pasal 42 ayat (1) PP No. 9 Tahun1975;
3. Pengadilan Agama dalam melakukan
pemeriksaan, harusmemanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan
sebagaimanadiatur dalam Pasal 42 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975;
4. Apabila Pengadilan Agama berpendapat, bahwa
cukup alasan bagipemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka
PengadilanAgama memberikan penetapan yang berupa izin untuk beristerilebih dari
seorang kepada pemohon yang bersangkutan.
Permohonan izin
beristeri lebih dari seorang tidak mengandungsengketa, oleh sebab itu pada
hakekatnya merupakan tindakanadministratif. Dalam Hukum Acara Perdata, hal ini
merupakan JurisictioVoluntaria, yang pemeriksaan dan putusannya merupakan
tindakanadminitratif, sedangkan bentuk putusan dalam Jurisdictio
Voluntariamerupakan penetapan (beschiking).
Selanjutnya
apabila belum ada izin dari pengadilan untuk beristrilebih dari seorang, maka
Pegawai Pencatat Perkawinan dilarangmelangsungkan, mencatat atau menyaksikan
poligami.
Dahulu
sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 secara efektif,“menurut tafsir lama
sebagaimana yang berlaku dalam praktek,berdasarkan Mazhab Syafe’I tidak
mnundukkan poligami kepadapengawasan hakim, oleh sebab orang bebas melakukan
poligami sesuaidengan kemauannya sampai empat orang isteri”[8].
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas kami dapat menarik
kesimpulan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan Yang
Maha Esa dan diperlukan persiapan fisik dan mental untuk melaksanakannya. Ada
bermacam-macam pola dan masalah perkawinan. Adapun perubahan psikologi yang
terjadi pada perkawinan yaitu lebih dewasa dan stress. Dalam hal ini diperlukan
peran bidan dalam mengupayakan penyelesaian konflik perkawinan yang terjadi.
B. Saran
Saran
kami adalah dalam memberikan pelayanan maupun penyuluhan akan masalah
perkawinan, bidan sebaiknya tidak membeda-bedakan status sosial, pendidikan,
ekonomi kliennya sehingga semua masalah perkawinan dapat terselesaikan dan
tidak mengakibatkan peningkatan angka perceraian.
DAFTAR PUSTAKA
Nurudin, Amiur dan A Tarigan , Hukum Perdata Islam
diIndonesia, Jakarta: Kencana, 2004
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2003
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum,
Jakarta: sinar grafika, 2004
Subekti, Asas-Asas Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2005
Tim Penyusun, Bunga Rampai Peradilan
Islam di Indonesia Jilid 1, Bandung: Ulul Albab Pres, 1997
[2]Yusuf Wibisono, Monogami atau Poligami Sepanjang Masa,
(Jakarta: Bulan Bintan, 1980), hal. 47.
[3]M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan
Nasional, (Medan: Zahir Trading Co., 1975), hal. 24.
[4]Imam Sudiyat, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional,
(Yogyakarta : Liberty, 1981), hal. 24
[5]Achmad Azhar Basyir, Op. Cit, hal. 3.
[8]Hazairin, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
(Jakarta : Tinta Mas, 1975), hal. 83.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar