film

Minggu, 05 Mei 2013

POLIGAMI


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Sejak dahulu kala bahkan sejak adanya manusia di muka bumi ini, telah dikenal adanya hubungan antara laki-laki dan perempuan yang kemudian mengadakan ikatan yang disebut dengan perkawinan. Walaupun cara dan bentuknya beraneka ragam mulai dari yang sangat sederhana sampai kepada yang sangat maju dan diatur oleh Undang-Undang atau peraturan Negara.
Tumbuhnya hubungan antara laki-laki dan perempuan yang dinamakan perkawinan itu adalah untuk memenuhi kebutuhan jasmani, kebutuhan rohani dan kebutuhan sosial manusia. Perkawinan yang dibentuk perlu memiliki syarat-syarat suatu perkawinan agar tujuan dari perkawinan itu tercapai, terbentuknya suatu perkawinan yang bertanggung jawab dan kebahagiaan lahir dan bathin.
B.       Rumusan Masalah
Ø  Apa yang disebut dengan pengertian, dasar hukum, tujuan, asas/pinsip, hikmah dari peminangan dan perkawinan serta rukun dan syarat perkawinan?
C.       Tujuan
Ø  Agar kita mengetahui dan memahami apa yang disebut dengan pengertian, dasar hukum, tujuan, asas/pinsip, hikmah dari peminangan dan perkawinan serta rukun dan syarat perkawinan.







BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Poligami
Perkataan poligami berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri daridua pokok kata yaitu polu dan gamein. Polu berarti banyak, gamein berartikawin. Jadi poligami berarti perkawinan banyak. Dalam bahasa Indonesiadisebut "Permaduan". Dalam teori hukum, poligami dirumuskan sebagaisistem perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari seorang isteri[1].Persoalan poligami telah merupakan sejarah umat manusia daridahulu kala dan merata dalam bentuk sipilisasi bangsa-bangsa terdahulubaik di Timur maupun di Barat[2].
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa poligami sudahdikenal jauh sebelum agama Islam datang.
Selanjutnya timbul pertanyaan, apakah poligami sudah ada diIndonesia sebelum agama Islam datang? Di Indonesia sendiri sebelumdatangnya agama Islam, sistem poligami itu merupakan lembaga yangdibenarkan oleh Hukum Keluarga, baik dalam stelsel Unilateral maupundalam stelsel Parental. Malahan kedatangan Islam memberi kepastianhukum yang menjamin anak-anak yang dilahirkan sebagai keturunan yangsah dari lembaga perkawinan poligami[3].
Berkaitan dengan hal di atas, Imam Sudrajat menyatakan[4]:
Meskipun sistem poligami merupakan lembaga yang dibenarkan oleh Hukum Keluarga, baik dalam stelsel unilateral maupun stelsel parental, nama di kalangan rakyat murba pada sebagian besar suku bangsa di Nusantara ini sangatlah tidak lazin adanya ikatan perkawinan antara seorang pria dengan dua orang wanita atau lebih pada waktu yang bersamaan. Bahkan di Tenganan Pagringsingan (Bali), terdapat larangan poligami.
Poligami diatur di dalam Al Qur'an, Surat An-Nisa : 3 yang berbunyi:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terdapat (hak-hak) perempuan yang yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak lain yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya"
Menurut Ahmad Basyir[5]:
Poligami yang diatur dalam Surat An Nisa : 3 di atas, merupakan jalan keluar dari kewajiban berbuat adil yang mungkin tidak terlaksana terhadap anak-anak yatim. Dahulu orang-orang Arab suka kawin dengan anak perempuan yatim yang diasuhnya, dengan maksud agar dapat ikut makan hartanya dan tidak usah memberi mas kawin. Untuk menghidari agar orang jangan sampai berbuat tidak adil terhadap anak-anak yatim itu, seorang laki-laki diperbolehkan kawin dengan perempuan lain, dua, tiga sampai empat orang. Tetapi itu pun dengan syarat harus berbuat adil.
Dari bunyi Surat An Nisa : 129 di atas dapatlah disimpulkan, bahwayang berlaku adil secara mutlak hanya Allah.
Mengingat syarat harus berbuat adil, penulis mengikuti pendapatyang lazim tentang adil, yaitu keadilan secara lahiriah.Selanjutnya untuk menjaga agar poligami tidak disalahgunakanoleh laki-laki yang kurang mendalami maksud dan tujuan perkawinanmenurut ajaran Islam, atas dasar "maslahat mursalah" negara dibenarkanmengadakan penertiban, tetapi tidak berkecenderungan untuk menutupsama sekali pintu poligami[6].
Berdasarkan hal di atas, maka tidak berlebihanlah bahwa apa yangtelah dilakukan Pemerintah Indonesia bersama Dewan Perwakilan Rakyatagar supaya poligami tidak disalahgunakan oleh laki-laki yang kurangmendalami maksud dan tujuan perkawinan, adalah sangat tepat.
Apa yang telah dikemukakan di atas dapatlah dilihat, bahwa negarakita telah mempunyai Undang-Undang Perkawinan yang bersifat nasional,yaitu UU No. 1 Tahun 1974, yang di dalamnya antara lain mengaturpoligami.
UU No. 1 Tahun 1974 diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974dan berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975, yaitu pada saatberlakunya Peraturan Pelaksanaannya (PP No. 9 Tahun 1975).
Atas dasar hal di atas, maka di Indonesia telah terjadi unifikasihukum dalam bidang perkawinan yang belaku bagi semua warga negaraIndonesia tanpa memandang mereka berasal dari golongan pendudukapa dan mereka berasal dari daerah mana. Dengan demikian UU No. 1Tahun 1974 juga berlaku bagi warganegara Indonesia yang sebelumberlakunya UU No. 1 Tahun 1974 tunduk kepada KUH Perdata.
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pelaksanaannyaditentukan bahwa[7]:
Poligami hanya diperuntukkan bagi mereka yang hukum dan agamanya mengizinkan seorang pria beristri lebih dari seorang. Hal ini ditegaskan dalam Penjelasan Umum UU No. 1 Tahun 1974 pada huruf c yang menyatakan, bahwa Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya seorang pria dapat beristeri lebih dari seorang.
Di muka telah dijelaskan, bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tidak menutuppintu bagi pria untuk beristeri lebih dari seorang, hal ini tidak berartimembuka pintu dalam arti seluas-luasnya, karena UU No. 1 Tahun 1974memberikan pembatasan yang sangat berat. Pembatasan itu diatur dalamPasal 3, 4, dan 5 UU No. 1 Tahun 1974.
Seorang pria yang telah diizinkan oleh hukum masing-masingagamanya dan kepercayaannya untuk beristeri lebih dari seorang, iaterlebih dahulu harus dapat menunjukkan alasan-alasan dari syarat-syaratyang secara liminatif telah ditentukan UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9Tahun 1975.

B.       Alasan-alasan dan Syarat-syarat Poligami
Alasan yang dipakai oleh seorang suami agar ia dapat beristerilebih dari seorang, diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 jo.Pasal 41 huruf a PP No. 9 Tahun 1975 yaitu:
a.       Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b.      Isteri mendapat cacad badan atau penyakit yang tidak dapatdisembuhkan;
c.       Isteri tidak dapat melahirkan keturunan;
Apabila salah satu dari alasan di atas dapat dipenuhi, maka alasantersebut masih harus didukung oleh syarat-syarat yang telah diatur dalamPasa15 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, yaitu:
a.       Ada persetujuan dari isteri/isteri-isteri
b.      Adanya kepastian, bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c.       Adanya jaminan, bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteriisteri dan anak-anak mereka.
Persetujuan yang dimaksud ayat (1) huruf a di atas, tidakdiperlukan lagi oleh seorang suami, apabila isteri/isteri-isterinya tidakmungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalamperjanjian atau tidak ada kabar dari isteri selama sekurang-kurangnya 2(dua) tahun, atau karena sebab lainnya yang perlu mendapat panilaiandari Hakim Pengadilan (Pasal 5 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974).
Persetujuan dalam Pasa15 ayat (1) huruf a UU No. 1 Tahun 1974.dipertegas oleh Pasal 41 huruf b PP No. 9 Tahun 1975, yaitu:
“Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, balk persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan lisan, pcrsetujuan itu harus diucapkan di depan Pengadilan.”
Sedangkan kemampuan seorang suami dalam Pasal 5 ayat (2)huruf b UU No. 1 Tahun 1974, dipertegas oleh Pasal 41 huruf c PP No. 9 Tahun 1975, yaitu:
Ø  Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan isteri-isteridan anak-anak, dengan memperhatikan:
                    i.         Surat keterangan mengenai penghasilan suami yangditandatangani oleh bendahara tempat kerja; atau
                  ii.         Surat keterangan pajak penghasilan; atau
                iii.         Surat keterangan lain yang dapat diterima Pengadilan.
Selanjutnya jaminan keadilan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c UU No. 1Tahun 1974, dipertegas oleh Pasal 41 huruf d PP No. 9 Tahun 1975, yaitu:
Ada atau tidaknya jaminan, bahwa suami akan berlaku adilterhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan menyatakanatau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkanuntuk itu.
Hal di atas, sebenarnya sesuai dengan Surat An-Nisa : 3, yangmenghendaki syarat-syarat untuk berpoligami. Cuma Surat An-Nisa : 3tidak merinci persyaratan itu dan hanya menyinggung ataumenampungnya dengan kata-kata yang luas cakupannya, yaitu:
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yang yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya".
Dari apa yang telah dikemukakan di atas, dapatlah disimpulkan,bahwa syarat bagi seorang suami untuk beristeri lebih dari seorangmenurut Al-Qur'an, yaitu harus dapat berbuat adil.

C.      Tata Cara Berpoligami

Tata cara poligami diatur dalam Pasal 4 dan 5 UU No. 1 Tahun1974 jo. Pasal 40 sampai dengan Pasal 44 PP No. 9 Tahun 1975, yangmenetapkan sebagai berikut :
1.      Seorang suami yang bermaksud beristeri lebih dari satu, wajib mengajukan permohonan secara tertulis, disertai dengan alasanalasan dan syarat-syarat yang ditentukan oleh Pasal 4 dan 5 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 PP No. 9 Tahun 1975, kepada Pengadilan. Bagi suami yang beragama Islam permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama.
2.      Pemeriksaan permohonan poligami harus dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya;
3.      Dalam melakukan pemeriksaan ada dan tidaknya alasan-alasan dansyarat-syarat untuk poligami, Pengadilan harus memanggil danmendengar isterinya yang bersangkutan:
4.      Apabila Pengadilan berpendapat, bahwa cukup bagi pemohon untukberisteri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberi putusannyayang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.
Khusus mengenai suami yang beragama Islam, Menteri Agamapada tanggal 19 Juli 1975 mengeluarkan Peraturan No. 3 Tahun 1975,tentang Kewajiban Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agamadalam melaksanakan peraturan perundang-undangan perkawinan bagiyang beragama Islam. Peraturan Menteri Agama tersebut baru berlakupada tanggal 1 Oktober 1975.
Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975, adalah pelaksanaanteknis yang harus dipatuhi oleh hakim.
Pengadilan Agama dalam memberikan putusan/penetapan izinpoligami maupun oleh Pejabat Nikah dalam menyelenggarakanperkawinan.
Ketentuan-ketentuan dari Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun1975 yang berkaitan dengan tata cara poligami, yaitu Pasal 14 yangmenetapkan sebagai berikut :
1.      Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya dengan membawa kutipan akta nikah dan surat-surat lainnya yang diperlukan;
2.      Pengadilan Agama kemudian memeriksa hal-hal sebagaimanadiatur dalam Pasal 42 ayat (1) PP No. 9 Tahun1975;
3.      Pengadilan Agama dalam melakukan pemeriksaan, harusmemanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan sebagaimanadiatur dalam Pasal 42 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975;
4.      Apabila Pengadilan Agama berpendapat, bahwa cukup alasan bagipemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka PengadilanAgama memberikan penetapan yang berupa izin untuk beristerilebih dari seorang kepada pemohon yang bersangkutan.
Permohonan izin beristeri lebih dari seorang tidak mengandungsengketa, oleh sebab itu pada hakekatnya merupakan tindakanadministratif. Dalam Hukum Acara Perdata, hal ini merupakan JurisictioVoluntaria, yang pemeriksaan dan putusannya merupakan tindakanadminitratif, sedangkan bentuk putusan dalam Jurisdictio Voluntariamerupakan penetapan (beschiking).
Selanjutnya apabila belum ada izin dari pengadilan untuk beristrilebih dari seorang, maka Pegawai Pencatat Perkawinan dilarangmelangsungkan, mencatat atau menyaksikan poligami.
Dahulu sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 secara efektif,“menurut tafsir lama sebagaimana yang berlaku dalam praktek,berdasarkan Mazhab Syafe’I tidak mnundukkan poligami kepadapengawasan hakim, oleh sebab orang bebas melakukan poligami sesuaidengan kemauannya sampai empat orang isteri”[8].




BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Dari uraian diatas kami dapat menarik kesimpulan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan diperlukan persiapan fisik dan mental untuk melaksanakannya. Ada bermacam-macam pola dan masalah perkawinan. Adapun perubahan psikologi yang terjadi pada perkawinan yaitu lebih dewasa dan stress. Dalam hal ini diperlukan peran bidan dalam mengupayakan penyelesaian konflik perkawinan yang terjadi.
B.       Saran
Saran kami adalah dalam memberikan pelayanan maupun penyuluhan akan masalah perkawinan, bidan sebaiknya tidak membeda-bedakan status sosial, pendidikan, ekonomi kliennya sehingga semua masalah perkawinan dapat terselesaikan dan tidak mengakibatkan peningkatan angka perceraian.








DAFTAR PUSTAKA
Nurudin, Amiur dan A Tarigan , Hukum Perdata Islam diIndonesia, Jakarta: Kencana, 2004
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2003
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: sinar grafika, 2004
Subekti, Asas-Asas Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2005
Tim Penyusun, Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia Jilid 1, Bandung: Ulul Albab Pres, 1997



[2]Yusuf Wibisono, Monogami atau Poligami Sepanjang Masa, (Jakarta: Bulan Bintan, 1980), hal. 47.
[3]M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading Co., 1975), hal. 24.
[4]Imam Sudiyat, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional, (Yogyakarta : Liberty, 1981), hal. 24
[5]Achmad Azhar Basyir, Op. Cit, hal. 3.
[6]Ibid, hal. 40.
[7]Abdulrahman dan Riduan Syahrani, Op. Cit, hal. 80.
[8]Hazairin, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. (Jakarta : Tinta Mas, 1975), hal. 83.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar