BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Poligami
merupakan salah satu persoalan dalam perkawinan yang paling banyak dibicarakan
sekaligus controversial.
Satu
sisi poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat
normative, psikologis
bahkan selalu dikaitkan dengan kesetaraan gender. Bahkan para penulis
barat sering mengklaim bahwa poligami adalah bukti bahwa ajaran islam dalam
bidang perkawinan sangat diskriminatif terhadap perempuan. Pada sisi lain, poligami dikampanyekan
karena dianggap sebagai salah satu alternative untuk menyelesaikan fenomena
selingkuh,
prostitusi dan populasi wanita yang lebih dominan dari laki-laki.
B. Rumusan
Masalah
1.
Pengertian poligami.
2.
Poligami Prespektif
UU No. 1 / 1974
3.
Poligami Perspektif
PP No. 9 / 1975.
4.
Poligami
Perspektif KHI
5.
Perspektif fikih
C. Tujuan
Agar kita
mengetahui dan memahami apa yang disebut dengan pengertian poligami dan
perspektifnya menurut UU No. 1 / 1974, Perspektif PP
No. 9 / 1975, Perspektif
KHI dan fikih.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Poligami
Secara
etimologis (lughawi) kata
poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu gabungan dari dua kata: poli atau
polus yang berarti banyak dan gamein dan gamos yang
berarti perkawinan. Dengan demikian poligami berarti perkawinan yang banyak (Nasution,
1996: 84). Secara terminologis (ishthilahi) poligami adalah sistem perkawinan
yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu
yang bersamaan (KBBI, 2001: 885). Jika yang memiliki pasangan lebih dari satu itu
seorang suami maka perkawinannya disebut poligini, sedang jika yang memiliki pasangan
lebih dari satu itu seorang isteri maka perkawinannya disebut poliandri. Namun dalam
bahasa sehari-hari istilah poligami lebih populer untuk menunjuk perkawinan seorang
suami dengan lebih dari seorang isteri. Lawan dari poligami adalah monogami,
yakni sistem perkawinan yang hanya membolehkan seorang suami memiliki seorang isteri
dalam satu waktu.
Dalam
Islam, poligami didefinisikan sebagai
perkawinan seorang suami dengan isteri lebih dari seorang dengan batasan maksimal
empat orang isteri dalamw aktu yang bersamaan. Batasan ini didasarkan pada QS.
al-Nisa’ (4): 3 yang berbunyi:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Dari
ayat itu ada juga sebagian ulama yang memahami bahwa batasan poligami itu boleh
lebih dari empat orang isteri bahkan lebih dari sembilan isteri. Namun batasan maksimal
empat isterilah yang paling banyak diikuti oleh para ulama dan dipraktikkan dalam
sejarah dan Nabi Muhammad Saw. Melarang melakukan poligami lebih dari empat isteri
(al- Syaukani, 1973, I: 420)
B.
Poligami Prespektif
UU No. 1/1974
Dalam UU ini
dijelaskan pada
pasal 3 bahwasanya perkawinan adalah monogami, namun pada keadaan tertentu
di bolehkan adanya poligami[1].
Dalam pasal 4
dijelaskan jika seorang suami akan beristri lebih dari seorang apabila:
Ø istri
tidak dapat mejalankan kewajiban sebagai istri
Ø istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
Ø istri
tidak dapat melahirkan keturunan
Di dalam UU ini
tidak menganut asas
monogamy mutlak namun terbuka
(Yahya
Harahap)
Poligami disini
ditempatkan pada status hokum darurat (emergency law), atau dalam keadaan yang
luar biasa (exstra
ordinary circumstance). Poligami
tidak semata-mata kewenangan suami namun juga atas izin pengadilan. Hal ini sesuai dengan
pasal 3 ayat 2:
Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami
untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
Pada pasal 5
ayat 1 termuat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang ingin
melakukan poligami ialah:
1.
Adanya persetujuan dari
istri/istri-istri
2. Adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
3.
Adanya jaminan bahwa
suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak mereka.
Yang membedakan
antara pasal 4 dan 5 adalah pasal 4 mengatur syarat alternative yang artinya
salah satu harus ada sedangkan pasal 5 adalah persyaratan kumulatif di mana
seluruhnya harus di penuhi suami yang akan melakukan poligami.
C.
Poligami Perspektif
PP No.9 1975.
Pada pasal 40
dinyatakan: Apabila
seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib
mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan[2].
Sedangkan tugas
pengadilan di atur di dalam pasal 41 PP No 9/1975 sebagai berikut:
·
Pengadilan kemudian
memeriksa mengenai:
Ø Ada
atu tidaknya alasan yang memungkinkan seseorang suami kawin lagi, ialah:
·
bahwa isteri tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
·
bahwa isteri mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
·
bahwa isteri tidak
dapat melahirkan keturunan.
Ø Ada
atau tidak adanya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu
merupakan persetujuan lisan,
persetujuan
itu harus diucapkan di depan siding pengadilan.
Ø Ada
atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri
dan anak-anak, dengan
memperlihatkan:
i.
surat keterangan
mengenai penghasilan suami yang ditanda-tangani
oleh bendahara tempat bekerja;
atau
ii. surat
keterangan pajak penghasilan;
atau
iii. surat
keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan
Ø Ada
atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri
dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam
bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Berikutnya pasal
42 juga dijelaskan keharusan pengadilan memanggil para istri untuk memberikan
penjelasan dan kesaksian.
Di
dalam pasal ini juga dijelaskan bahwa pengadilan diberi waktu selama tiga puluh
hari untuk memeriksa permohonan poligami setelah diajukan oleh suami lengkap
dengan persyaratannya.
Pengadilan agama
berhak memberi izin kepada seseorang untuk melakukan poligami. Hal ini dinyatakan
dalam pasal 43 yang bunyinya:
Apabila
pengadilan berpendapat cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari
seorang, maka
pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari
seorang. Izin
pengadilan agama menjadi sangat menentukan, sehingga dalam pasal 44
dijelaskan bahwa pegawai pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan
perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang tanpa adanya
izin pengadilan.
D.
Poligami Perspektif
KHI
KHI memuat poligami
pada bagian IX dengan judul,
”Beristri
lebih dari satu orang yang diungkap dari pasal 55-59”. Pada pasal 55
dinyatakan[3]:
1. Beristri
lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai
empat orang istri.
2. syarat utama beristri
lebih dari satu orang, suami
harus mampu berlaku adil terhadap
istri-istri dan anak-anaknya.
3. Apabila
syarat utama yang disebut pada ayat 2 tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri
lebih dari satu orang.
Lebih lanjut
dalam KHI pasal 56 dijelaskan
huruf (a):
“seorang suami yang akan
menikah lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama”
Pengajuan
permohonan izin dimaksudkan pada ayat 1 dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam
BAB VIII PP No.9 Tahun 1975
Perkawinan yang
dilakukan dengan istri kedua,
ketiga, atau keempat yang tidak
mempunyai izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Dari pasal-pasal
di atas, KHI
tidak berbeda dengan UUP dan semangat fikih pada pasal 57 juga dijelaskan: “Seorang suami yang
akan beristri lebih dari seorang apabila:
1. Istri
tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri;
2. Istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
3. Istri
tidak dapat melahirkan keturunan.
Alasan-alasan
suami yang diperbolehkan berpoligami menurut Pengadilan Agama sama dengan yang
disebut oleh pasal 4 UUP.
Selanjutnya pada
pasal 59 juga digambarkan betapa besarnya wewenang Pengadilan Agama dalam
memberikan keizinan. Sehingga
bagi istri yang tidak mau memberikan persetujuan suaminya untuk berpoligami, persetujuan itu dapat
diambil alih oleh Pengadilan Agama.
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perundang-undangan Indonesia telah
mengatur agar laki-laki yang melakukan poligami adalah laki-laki yang
benar-benar[4]:
1. mampu
secara ekonomi menghidupi dan mencukupi seluruh kebutuhan (sandang, pangan, papan) keluarga
(istri-istri dan anak-anak)
2. Mampu
berlaku adil terhadap istri-istri dananak-anak dari suami poligami tidak
disia-siakan.
Ketentuan hokum
yang mengatur tentang poligami seperti telah diuraikan di atas dan mengikat semua
pihak, pihak
yang akan melangsungkan poligami dan pegawai pencatat perkawinan. Apabila mereka
melanggar pasal-pasal di atas dikenakan sanksi pidana. Hal ini diatur pada bab
IX pasal 45 PP No.9 tahun 1975.
E.
Perspektif
Fikih
Poligami adalah seorang
laki-laki yang beristri lebih dari satu dan dibatasi hanya empat orang istri
saja. Landasan
poligami yaitu surat An-Nisa ayat 3.
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Selanjutnya pada
An-Nisa 129 Allah berfirman yang artinya:
`s9ur (#þqãèÏÜtFó¡n@ br& (#qä9Ï÷ès? tû÷üt/ Ïä!$|¡ÏiY9$# öqs9ur öNçFô¹tym ( xsù (#qè=ÏJs? ¨@à2 È@øyJø9$# $ydrâxtGsù Ïps)¯=yèßJø9$$x. 4 bÎ)ur (#qßsÎ=óÁè? (#qà)Gs?ur cÎ*sù ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇÊËÒÈ
Dan kamu
sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun
kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.
dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dalam penafsiran
Asghar, sebenarnya
dua ayat di atas menjelaskan betapa al-Qur’an memperbolehkan laki-laki kawin
hingga empat orang istri dengan syarat adil. Namun lebih jelas lagi
dengan mengutip al-Tabari, inti ayat tersebut bukan pada kebolehan poligami
tetapi terletak pada perlakuan yang adil terhadap anak yatim terlebih setelah
mengawininya. Adil
disini adalah adil dalam perlakuan yang adil dalam meladeni istri, seperti pakaian, tempat, giliran, dan lain-lain yang
bersifat lahiriah.
Jika
disederhanakan pandangan normative al-Qur’an yang selanjutnya diadobsi oleh
ulama-ulama fiqh setidaknya
menjelaskan dua persyaratan bagi seorang suami yang akan berpoligami. Pertama, seorang lelaki yang
akan berpoligami harus memiliki kemampuan dana yang cukup untuk membiayai
berbagai keperluan dengan bertambahnya istri yang dinikahi. Kedua, seorang lelaki harus
memperlakukan semua istrinya secara adil.
Menurut
Abdurrahman ada 8 syarat poligami[5]:
1.
istri
mengidap penyakit yang berbahaya dan sulit disembuhkan
2. istri
terbukti mandul dan dipastikan secara medis tidak dapat melahirkan
3. istri
sakit ingatan
4. istri
lanjut usia sehingga tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai istri
5. istri
memiliki sifat buruk
6. istri
minggat dari rumah
7. ketika
terjadi ledakan perempuan misalnya saat perang
8.
kebutuhan suami
beristri lebih dari satu dan apabila tidak dipenuhi menimbulkan kemudharatan di
dalam kehidupan dan keluarganya.
Di sini jelas
sekali ada kelonggaran suami untuk berpoligami sehingga titik tekannya pada
suami.
Hikmah poligami
menurut Al-Jurjani dalam kitabnya Hikmah al-Tasyri’ wa al-falsafatuhu
ialah sebagai berikut:
1. poligami
yang dibatasi empat menunjukkan bahwa manusia terdiri dari empat campuran di
dalam tubuhnya.
2. batasan
empat juga sesuai dengan batasan pekerjan laki-laki; pemerintahan, perdagangan, pertanian dan industri.
3. bagi
seorang suami yang memiliki empat orang istri mempunyai waktu yang senggang
tiga hari sehingga dapat mencurahkan kasih sayang.
Tetap dalam pandangan hikmah, poligami merupakan alternative dan solusi
paling efektif dari kebutuhan social, karena fakta empiris dan sesuai hokum
alam, menunjukkan jumlah populasi wanita selalu mendominasi laki-laki. Melarang
poligami berarti hanya akan menelantarkan nasib sekian wanita dalam kesendirian
dan kegelisahan, merampas hak mereka untuk berketurunan serta mengiringnya terjerumus
kelembah nista. Menolak poligami sama saja dengan menentang hokum alam. Karena mendekati
kiamat, akan semakin terjadi perbedaan ekstrim antara jumlah laki-laki dan perempuan[6].
Rosulullahbersabda:
ان من اشراط الساعة ان يرفع العلم ويكثر الجهل ويكثر
الزنا ويكثر شرب الخمر ويقل الرجال ويكثر النساء حتى يكون لخمسين امرأة القيم
الواحد
“sesungguhnya diantara tanda-tanda hari kiamat adalah dihilangkannya
ilmu, banyak kebodohan, banyak perzinahan, banyak meminum khomer, sedikit laki-laki
dan banyak perempuan hingga akan terjadi lima puluh perempuan hidup dengan satu
orang pelindung”
Di sini para
Fuqaha berusaha untuk merasionalisasi poligami agar dapat diterima dengan baik.
Mengenai
poligami ini, ada ungkapan menarik yang dikutip al Bajuri dari Ibn `Abd as-Salam
yang mengatakan: ”Dahulu, pada zaman syari`at Musa a.s., perempuan dibolehkan
dinikahi tanpa batas untuk kemaslahatan laki-laki. Pada zaman syari`at Isa a.s., tidak
diperbolehkan dinikahi kecuali satu untuk kemaslahatan perempuan. Pada masa
syari`at Nabi kita, kedua maslahat tersebut dipelihara[7].
Selanjutnya untuk menjaga agar poligami tidak disalahgunakan
oleh laki-laki yang kurang mendalami maksud dan tujuan perkawinan menurut ajaran
Islam, atas dasar "maslahat mursalah" negara dibenarkan mengadakan penertiban, tetapi
tidak berkecenderungan untuk menutup sama sekali pintu poligami[8].
Mengingat syarat harus berbuat adil, para Penafsir
al-Qur’an menafsiri keadilan secara lahiriah. Karena hal-hal yang bersifat bathini
ini berada di luar kendali manusia, maka jelas tidak dibebankan terhadap suami
yang berpoligami, melainkan sebatas keadilan lahiriyah yang masih berada
dalam batas kemampuannya, seperti keadilan nafaqah, giliran dan lain-lain.
Rosulullah pun mengakui bahwa hati beliau lebih condong terhadap terhadapAisyah
danbeliau pun tetap berpoligami;
اللهم هذا قسمي فيما املك فلا تؤاخذني فيما لا املك
“Ya Allah ini adalah bagian yang
aku miliki maka janganlah Engkau menghukum pada sesuatu yang tidak aku miliki
(kecenderungan hati)”
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas kami dapat
menarik kesimpulan bahwa poligami adalah perkawinan seorang suami dengan
lebih dari seorang isteri.
Poligami prespektif UU No. 1 / 1974, PP No. 9 / 1975 dan KHI
(Kompilasi Hukum Islam) tidak dilegalkan secara umum, namun harus memenuhi
syarat-syarat serta sesuai dengan prosedur yang yang ada. Akan tetapi, KHI
menjelaskan lebih jauh, apabila perkawinan
yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat yang tidak mempunyai
izin dari Pengadilan Agama, maka tidak mempunyai kekuatan hukum. Sedangkan PP
No. 9 / 1975 menegaskan sanksi terhadap orang-orang yang melaksanakan poligami
dengan melanggar ketentuan-ketentuan yang diatur.
Prespektif fikih, poligami juga mempunyai syarat-syarat yang
juga sudah tertulis dalam ketentuan-ketentuan di atas tanpa harus mempersulit prosedurnya.
Namun, jika prosedur yang diatur pemerintah memang dianggap baik untuk
kemaslahatan laki-laki dan perempuan maka prosedur tersebut dibenarkan oleh
ajaran islam.
B. Saran
Seseorang
memandang kebaikan (maslahat) haruslah dipandang dari semua aspek baik dari
norma manusiawi dan agama. Jika pandangan dari dua aspek tersebut mengklaim hal
itu sudah merupakan maslahah maka hal itulah maslahah. Sebab, terkadang manusia
tidak bisa mengetahui rahasia pensyari’atan suatu hukum oleh agama.
DAFTAR PUSTAKA
Syaikh Ibrahim al Bajuri, Hasyiyah al Bajuri libni Qasim, Jilid
II, Semarang: CV Toha Putra,
Ahmad Azhar Basyir, 1978. Hukum Perkawinan Islam, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Yogyakarta.,
Team Kodifikasi
Abiturien 2007 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien Pon-Pes Lirboyo Kediri, Manhaj
Solusi Umat, Jawaban Problematika Kekinian, (Purna Siswa Aliyah : Kediri)
2007,
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia,
Jakarta: Akademika Presindo, 1992,
Kompilasi Hukum Islam buku satu tentang perkawinan
PP No. 75 Th. 1975, Seri perundang-undangan (Perkawinan dan
kompilasi hokum islam), (Yogyakarta:PustakaYustisia.2008)
Abidin Slamet, Aminuddin.H, Fiqh Muhakahat
(Untuk Fakultas Syari’ah Komponen MKDK), (Bandung:Pustaka Setia.1999).
Nuruddin Amiur, Tarigan Azhari Akmal, Hukum Perdata
Islam Di Indonesia (Studi kritis perkembangan hokum islam dari fikih, UU No
1/1974 sampai KHI. (Jakarta:Kencana,2006)
Marzuki. 1996. “Beberapa Aspek Hukum Perkawinan Islam
di Indonesia, Mesir, dan Pakistan: Suatu Studi Perbandingan”. Tesis S-2 di
Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
[1]Abidin
Slamet, Aminuddin.H, Fiqh
Muhakahat
(Untuk Fakultas Syari’ah Komponen MKDK), (Bandung:Pustaka
Setia.1999). Nuruddin Amiur, Tarigan
Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Studi kritis perkembangan hokum islam
dari fikih, UU No
1/1974 sampai KHI. (Jakarta:Kencana,2006)
Marzuki. 1996. “Beberapa Aspek Hukum Perkawinan
Islam di Indonesia, Mesir, dan Pakistan:
Suatu Studi Perbandingan”. Tesis S-2 di Program Pascasarjana IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. hlm. 175-177
[2]PP No. 75 Th. 1975, Seri perundang-undangan (Perkawinan
dan kompilasi hokum islam), (Yogyakarta:PustakaYustisia.2008)
[6]Team Kodifikasi Abiturien 2007 Madrasah Hidayatul
Mubtadi-ien Pon-Pes Lirboyo Kediri, Manhaj Solusi Umat, Jawaban Problematika
Kekinian, (Purna Siswa Aliyah : Kediri) 2007, hlm. 163
[7]Syaikh Ibrahim al Bajuri, Hasyiyah al Bajuri libni
Qasim, Jilid II, Semarang: CV Toha Putra, hlm. 93.
[8]Ahmad Azhar Basyir, 1978. Hukum Perkawinan Islam,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Yogyakarta.,hal. 40.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar